Friday, October 19, 2007

aksiologi

Review Filsafat Ilmu:

AKSIOLOGI

1. Pengantar
Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi secara formal baru muncul pada sekitar abad ke-19. Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang berarti nilai atau berharga. Menurut Mautner (dalam Wiramihardja, 2006: 155), aksiologi mulai digunakan sebagaimana adanya saat ini oleh Lotze, Brentano, Husserl Scheeler dan Nicolai Hartmann.
Dalam filsafat Yunani kuno, tema aksiologi lebih banyak berhubungan dengan masalah-masalah yang konkret, seperti api, udara dan air. Masalah nilai ini meliputi dua hal penting yaitu ada (being) dan nilai (value).

2. Definisi Aksiologi
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik ataupun fisik material (Koento, 2003: 13).
Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral. Adapun Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.

3. Kegunaan Pengetahuan Filsafat
Menurut Tafsir (2006: 89) untuk mengetahui kegunaan filsafat, dapat dimulai dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu pertama, filsafat sebagai kumpulan teori filsafat. Kedua, filsafat sebagai metode pemecahan masalah dan ketiga, filsafat sebagai pandangan hidup.
Penjelasan dari kegunaaan pertama yaitu bahwa mengetahui teori-teori filsafat sangat perlu karena dunia dibentuk oleh teori-teori itu. Adapun filsafat sebagai metodologi bermakna cara memecahkan masalah yang dihadapi. Filsafat digunakan sebagai cara pemecahan masalah secara secara mendalam dan universal. Kegunaan filsafat sebagai pandangan hidup dimaknai sama dengan agama yaitu dalam hal mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya.
Perbedaannya adalah agama berasal dari Tuhan sedangkan filsafat berasal dari pemikiran manusia. Filsafat sebagai pandangan hidup terdapat dalam beberapa segi kehidupan seperti akidah, hukum dan bahasa.
3.1. Kegunaan Filsafat bagi Akidah
Akidah merupakan bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan, dengan pusat keyakinan kepada Tuhan. Tafsir (2006: 91-95) mengungkapkan bahwa Thomas Aquinas (1225-1274) berusaha menyusun argumen logis untuk membuktikan adanya Tuhan melalui bukunya Summa Theologia.
Argumen pertama adalah argumen gerak. Penggerak alam adalah Tuhan. Kedua, argumen kausalitas yaitu Tuhan sebagai penyebab pertama, yang tidak memerlukan penyebab yang lain. Ketiga, argumen kemungkinan yang dilatarbelakangi pemikiran bahwa adanya alam itu bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada. Alam ini mula-mula tidak ada, lalu menjadi ada sehingga memerlukan Yang Ada untuk menjadikan alam menjadi ada. Keempat, argumen tingkatan yaitu Tuhan adalah yang tertinggi sehingga Dia adalah penyebab di bawah-Nya. Argumen kelima adalah argumen teologis atau disebut argumen tujuan. Ada sesuatu yang mengatur alam menuju tujuan alam yaitu Tuhan.
Kant menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dipahami melalui akal dan hanya dapat dipahami melalui suara hati yang disebut moral. Menurut Kant akal teoritis atau akal rasional tidak melarang untuk mempercayai Tuhan, kesadaran moral atau suara hati memerintahkan mempercayai-Nya. Suara hati itu memerintah, bahkan rasio tidak mampu untuk melawannya. Filsafat dapat berguna untuk memperkuat keimanan.
3.2. Kegunaan Filsafat bagi Hukum
Hukum yang akan dibahas adalah hukum Islami atau fikih. Fikih secara bahasa berarti mengetahui, sedangkan oleh para ushul al fiqh didefinisikan sebagai hukum praktis hasil ijtihad (Tafsir, 2006: 96). Ketentuan hukum dalam fikih terdiri dari tiga hal. Pertama, perintah seperti sholat, zakat, puasa dan sebagainya. Kedua, larangan seperti larangan zina, musyrik dan sebagainya. Ketiga, petunjuk seperti cara sholat, puasa dan sebagainya.
Ketiga unsur tersebut apabila dilihat dari sudut sifatnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pertama, bersifat tetap yang berarti bahwa tidak terpengeruh oleh kondisi tertentu. Kedua, yang bersifat dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu.
Tujuan diturunkannya hukum Islami atau fikih adalah untuk menciptakan kemaslahatan hidup manusia. Mashudi (dalam Tafsir, 2006: 97-98) mengemukakan bahwa untuk menjamin kemaslahatan tersebut ditetapkan beberapa azaz Islami sebagai berikut:
  • tidak sulit dalam melakukannya
  • ringan serta mampu dilaksanakan
  • mudah sesuai kemampuan
  • menghilangkan bahaya
  • boleh melakukan sesuatu asal tidak membahayakan yang lain
Kaidah-kaidah pembuatan hukum ini ternyata didasarkan pada teori-teori filsafat. Selain dalam hukum fikih, filsafat juga berguna dalam memberikan kritik ideologi. Dalam memberikan kritik ideologi, yaitu dengan menggunakan fungsi kritis filsafat. Dalam hal ini filsafat dapat melakukan dua hal. Pertama, kritik terhadap ideologi saingan yang akan merusak Islam. Kedua, kritik terhadap hukum Islami, misalnya mempertanyakan apakah itu sesuai dengan esensi yang dikandung oleh teks yang dijadikan dasar hukum tersebut.
Filsafat, khususnya filsafat sebagai metodologi berguna bagi pengembangan hukum dalam hal ini hukum Islami.
3.3. Kegunaan Filsafat bagi Bahasa
Bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Ketika bahasa berfungsi sebagai alat berpikir ilmiah, muncul permasalahan dan dapat diselesaikan dengan bantuan filsafat. Peran logika (filsafat) dalam bahasa menurut Qasim (dalam Tafsir, 2006: 101) adalah memperbaiki bahasa. Logika dapat mengetahui kesalahan bahasa. Kekeliruan dalam bahasa menyebabkan kekeliruan dalam berpikir, seperti pertama, kekeliruan karena komposisi. Kedua, kekeliruan dalam pembagian yaitu kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan maka keliru pula dalam menetapkan sifat bagian. Ketiga, kekeliruan tekanan yaitu kekeliruan yang terjadi dalam pembicaraan ketika salah dalam memberikan tekanan dalam pengucapan. Keempat, kekeliruan karena amfiboli. Amfiboli terjadi karena apabila kalimat mempunyai arti ganda.
Filsafat sangat berperan dalam menentukan kualitas bahasa. Tanpa peran serta filsafat kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin dapat diperbaiki. Perkembangan berpikir (filsafat) akan diikuti oleh perkembangan bahasa.
4. Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain adalah sebagai metodologi, yang bermakna sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaiakan masalah bahkan sebagai metode memandang dunia.
Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Mendalam bermakna bahwa filsafat mencari asal masalah, sedangkan universal bermakna filsafat ingin agar masalah dilihat dalam hubungan yang seluas-luasnya sehingga nantinya penyelesaian dapat cepat dan berakibat seluas mungkin.

5. Pendekatan-pendekatan dalam Aksiologi
Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:
  • Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman.
  • Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
  • Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.
Nilai mempunyai bermacam makna seperti:
mengandung nilai, yang artinya berguna
merupakan nilai, yang artinya baik, benar atau indah
mempunyai nilai yang artinya merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai tertentu
memberi nilai, yang artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu
Makna yang dikandung nilai tersebut menimbulkan tiga masalah yang bersifat umum, seperti:
apakah yang dinamakan nilai itu?
apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai, dan bagaimanakah cara mengetahui nilai dapat diterapkan?
proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan-tanggapan penilaian dan bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang dikandungnya serta verifikasi yang dapat dilakukan terhadapnya?
5.1. Nilai merupakan Kualitas Empiris yang Tidak Dapat Didefinisikan
Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Sebagai contoh pengertian baik, artinya pengertian nilai. Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325) mengatakan bahwa baik merupakan pengertian yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu.
Pendefinisisan nilai juga didasarkan pada hal-hal lain, seperti rasa nikmat atau kepentingan. Moore menyebutnya sesat-pikir naturalistis. Nilai tidak dapat didefinisikan maksudnya nilai-nilai tidak dapat dipersamakan dengan pengertian-pengertian yang setara. Nilai dapat didefinisikan dengan cara-cara lain, seperti dengan menunjukkan contohnya sehingga dapat diketahui secara langsung.
Jika nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi tidak dapat sebaliknya. Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti nilai tidak bisa dipahami.
5.2. Nilai sebagai Obyek Suatu Kepentingan
Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau menentang. Dalam hal ini tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu:
sikap setuju atau menentang tersebut sama sekali bersangkut paut dengan masalah nilai
sikap tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki
sikap tersebut merupakan sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai
Kemungkinan pertama sudah jelas. Kemungkinan kedua berarti bahwa, misalkan sikap tersebut ditimbulkan oleh suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian dari hakekatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila seseorang mengatakan x bernilai maka dalam arti yang sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut mempunyai kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau menentang oleh Perry (dalam Kattsoff, 2004: 329) disebut kepentingan.
Perry juga berpendapat bahwa setiap obyek yang ada dalam kenyataan maupun pikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika berhubungan dengan subyek-subyek yang mempunyai kepentingan.
5.3. Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.
Dengan kata lain, pemberian nilai berkaitan dengan bahan-bahan faktual yang tersedia dan berdasarkan bahan-bahan tersebut, perbuatan-perbuatan dan obyek-obyek dapat dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang terbayang. Dapat disimpulkan bahwa pemberian nilai adalah ketentuan-ketentuan penggunaan berkaitan dengan kegiatan manusia melalui generalisasi-generalisasi ilmiah sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.
5.4. Nilai sebagai Esensi
Apabila nilai sudah sejak semula terdapat di segenap kenyataan, dapat dikatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara apa yang ada (eksistensi) dengan apa yang seharusnya ada. Yang sungguh-sungguh ada yaitu apa yang ada kini dengan yang mungkin ada (apa yang akan ada).
Jika nilai bersifat intrinsik, maka nilai apa yang akan ada merupakan kelanjutan belaka dari apa yang seharusnya ada. Apabila nilai merupakan ciri intrnsik semua hal yang bereksistensi maka dunia ini merupakan dunia yang baik, kerena di dalamnya tidak mungkin terdapat keadaan tanpa nilai. Dengan demikian maka masalah adanya keburukan di dunia terhapus karena memperoleh pengingkaran.
Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenyataan, namun tidak bereksistensi. Berhubung dengan itu, nilai-nilai tersebut haruslah merupakan esensi-esensi yang terkandung dalam barang sesuatu serta perbuatan-perbuatan. Pandangan ini erat hubungannya dengan pandangan Plato dan Aristoteles (Kattsoff, 2004: 337) mengenai forma-forma. Sebagai esensi, nilai tidak bereksistensi, namun ada dalam kenyataan. Nilai-nilai mendasari sesuatu dan bersifat tetap.
6. Etika
Etika oleh Driyarkara (dalam Wiramihardja, 2006: 158) disebut juga sebagai filsafat kesusilaan atau moral. Namun, terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu pertama, moralitas bersangkutan dengan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seyogyanya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan. Adapun etika merupakan wacana yang memperbincangkan landasan-landasan moralitas. Kedua, bahwa etika berkaitan dengan landasan filsafati norma dan nilai dalam kehidupan kemasyarakatan, sedangkan moral berkaitan dengan nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan atau keburukan perilaku yang bersangkutan dengan agama. Kesusilaan sering dikaitkan juga dengan norma agama yang berhubungan dengan masalah pahala dan dosa. Kattsoff (2004, 341) mendefinisikan etika sebagai cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai betul dan salah dalam arti susila dan tidak susila.
Filsafat etis merupakan usaha untuk memberi landasan terhadap usaha menyelesaikan konflik-konflik secara rasional apabila respon otomatis dan aturan implisit tindakan berbelit dengan respon dan aturan yang bertentangan. Craig dalam bukunya The Shorter Routledge Encyclopedia of Phylosophy mengemukakan tiga masalah utama dalam etika, yaitu masalah etika dan meta etika, masalah konsep etis dan teori etis serta masalah etika terapan.
6.1. Masalah Etika dan Meta Etika
Etika mempunyai empat pengertian yaitu pertama, sistem-sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kehidupan kelompok khusus manusia yang digambarkan sebagai etika kelompok ini. Kedua, etika digunakan pada satu di antara sistem-sistem khusus tersebut yaitu moralitas yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan. Ketiga, etika dalam sistem moralitas mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual. Keempat, etika merupakan suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.
6.2. Konsep dan Teori Etika
Crisp (dalam Wiramihardja, 2006: 160) menyatakan terdapat beberapa etika yang bersifat luas dan umum serta berupaya untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum atau keterangan-keterangan dasar mengenai moralitas, cenderung lebih berfokus pada masalah etika.
Filsafat moral atau etika membicarakan advokasi cara-cara khusus hidup dan bertindak. Beberapa tradisi lama sekarang telah hilang, namun masih banyak perbedaan cara pandang mengenai bagaimana seharusnya cara orang hidup.
6.3. Masalah Etika Terapan
Etika filsafati selalu dikaitkan dengan taraf penerapan pada kehidupan nyata sehari-hari. Aristoteles meyakini bahwa dalam mempelajari etika tidak terdapat nilai, jika hal itu tidak akan memberikan keuntungan kepada orang dalam menjalani kehidupannya.
7. Estetika
Estetika menurut The Liang Gie (dalam Wiramihardja, 2006: 162) merupakan permasalahan, pertanyaan (issues) tentang keindahan, menyangkup ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.
Marcia Eaton menyatakan bahwa konsep-konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berkaitan dengan deskripsi dan evaluasi obyek serta kejadian artistik dan estetika. Immanuel Kant menyatakan bahwa konsep estetika bersifat subyektif, tetapi pada taraf dasar manusia secara universal mempunyai perasaan yang sama terhadap apa yang membuat nyaman, senang, menyakitkan ataupun tidak nyaman.
Kattsoff (2004: 366) mengungkapkan bahwa estetika merupakan suatu teori yang meliputi:
penyelidikan mengenai yang indah
penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
pengalaman yang berkaitan dengan seni seperti masalah penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan atas seni
7.1. Estetika Filsafati
Teori keindahan lebih tepat dianggap sebagai kajian ilmiah dalam membahas fenomena atau wujud kesenian daripada dasar-dasar wacana seni. Teori lima seni merupakan teori seni yang menyangkut permasalahan seni lukis, seni pahat, arsitektur, sajak dan musik yang dianggap pilar dari kesenian pada umumnya.
Baumgarten (dalam Wiramihardja, 2006, 163) mengatakan bahwa estetika merupakan pengetahuan tentang sensuous. Dalam bahasa Yunani, aiesthetika berarti hal-hal yang dapat diserap oleh panca indera, sedangkan aisthesis berarti persepsi inderawi. Bosanquet menyatakan bahwa toeri aestetika merupakan cabang filsafat dan lahir untuk keperluan pengetahuan, bukan sebagai bimbingan praktis untuk menilai dan membentuk sesuatu yang bernilai estetis.
7.2. Prinsip Estetika
Keindahan mengandung ekspresi imajinatif dan sensuous mengenai kesatuan dalam kemajemukan. Pemikiran Hellenik berpendapat bahwa seni pertama kali muncul sebagai reproduksi dari realitas yang merupakan alasan yang ditentang analisis estetik karena berpegang teguh pada signifikan konkret mengenai keindahan dalam diri manusia dan alam.
Teori keindahan mempunyai tiga prinsip yang membangun kerangka kerja Hellenistik mengenai alam dan nilai keindahan. Namun, hanya satu yang dianggap sebagai judul yang lebih tepat bagi teori estetika. Adapun dua prinsip lainnya lebih dekat pada masalah-masalah moral dan metafisik, meskipun akar keduanya adalah asumsi metafisika yang juga memadai untuk batasan analisis estetik. Prinsip ketiga dianggap sebagai kondisi ekspresi yang abstrak.
7.3. Konsep Estetika
Konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilah-istilah yang mengangkat kelengkapan estetik yang mengacu pada deskripsi dan evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan obyek, serta kejadian artistik dan estetik. Kant menyatakan bahwa konsep estetik secara esensial bersifat subyektif, berakar pada perasaan pribadi mengenai rasa senang dan sakit.
Mautner menyatakan bahwa aestetisme mempunyai pengertian aliran filsafat dan orang-orang yang menghadapi permasalahan, senantiasa mengutamakan nilai-nilai estetis. Goethe menyatakan bahwa dalam kehidupan umumnya yang harus diutamakan dan didahulukan adalah nilai estetis, seperti keseimbangan dalam bertingkah laku dan menilai situasi apa pun yang termasuk airan ini tidak harus para seniman. Budd mendefinisikan sifat aestetisme sebagai cara kita menganggap sesuatu dan jika kita hanya menangkap inti estetis di dalamnya. Tanner menekankan hubungan antara etika dan estetika, yaitu bahwa antara penilaian estetika dan etika telah melahirkan subyek materi estetika (Wiramihardja, 2006: 166-168).
8. Ilmu dan Moral
Peradaban manusia bergerak seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kedua hal tersebut, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih mudah dan cepat. Namun, terdapat sisi buruk dari imu yaitu sejak dalam tahap pertama pertumbuhannnya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka.
Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi. Ilmu tidak saja bertujuan untuk menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman tetapi bertujuan untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.
Dihadapkan pada masalah moral maka ilmuwan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan pertama dan golongan kedua. Golongan pertama yaitu golongan yang menginginkan agar ilmu harus netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Adapun golongan kedua merupakan golongan yang berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu seperti pada saat era Galileo, sedangkan golongan kedua berusaha menyesuaikan kenetralan ilmu berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal:
ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan
ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi penyalahgunaan
ilmu telah berkembang sedemikian rupa, dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti kasus revolusi genetika

Referensi:
  • Kattsoff, L.O. (2004), Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
  • Siswomihardjo, Koento Wibisono (2003), “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, hal. 1-16, Liberty, Yogyakarta.
  • Suriasumantri, Jujun S. (2005), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
  • Tafsir, Ahmad (2006), Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
  • Wiramihardja, S.A. (2006), Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu, Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, PT Refika Aditama, Bandung.