Thursday, October 18, 2007

Review: Microfinance Revolution

PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN
LEMBAGA KEUANGAN PEDESAAN DI INDONESIA


Pembangunan Pedesaan
Pada pertengahan tahun 1960-an riset pertanian internasional menunjukkan teknologi baru yang mampu memberikan hasil panen besar yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian secara signifikan. Dengan adanya berbagai varietas unggul, pertumbuhan yang substansial dalam penggunaan pupuk buatan, insektisida, teknik pengolahan serta manajemen baru, perluasan irigasi, dan mesin pertanian baru, revolusi hijau ini telah menghasilkan sebuah peralihan besar-besaran menuju pengolah padi komersial di banyak negara berkembang. Di Indonesia hasilnya beragam, tergantung dari daerah yang bersangkutan, jenis panen, serta akses petani terhadap tanah, air, pekerja, kredit dan berbagai fasilitas pemasaran.
Revolusi hijau telah memungkinan pertumbuhan besar dalam produksi beras dan berbagai jenis hasil panen lainnya. Peningkatan dalam produksi beras berasal dari dua hal, yaitu intensifikasi, terutama di Jawa dan Bali, dan ekstensifikasi, terutama di beberapa bagian kepulauan luar. Peningkatan produksi beras melalui intensifikasi terlihat dari hasil panen yang lebih banyak serta intensitas panen yang meningkat (dua atau tiga kali panen per tahun). Daerah lain yang mengalami intensifikasi padi yang cukup signifikan adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Sulawesi Selatan.
Di permulaan tahun 1970-an, jauh lebih banyak tanah di luar Jawa yang telah digunakan untuk ekstensifikasi padi dibandingkan dengan di Pulau Jawa sendiri, tetapi hanya sedikit tanah hasil ekstensifikasi padi di luar Jawa tersebut yang dapat dipakai untuk menanam padi, dan Jawa menghasilkan lebih dari 60 persen produksi beras Indonesia, sehingga Jawa tetap menjadi pemasok beras utama serta sumber berbagai makanan pokok lainnya di Indonesia.
Dampak revolusi hijau di Indonesia terutama untuk daerah pedesaan di Jawa, telah banyak diperdebatkan. Selama tahun 1970-an banyak ilmuwan sosial menyatakan komersialisasi pertanian di Jawa telah menyebabkan banyak ketidaksetaraan dalam populasi penduduk pedesaan. Pernyataan tersebut didasarkan pada argumentasi adalah sebagai berikut:
Berbagai keuntungan teknologi baru pertanian kebanyakan hanya menjangkau para petani besar yang memiliki akses terhadap irigasi, kredit, serta input hasil panen yang hanya cocok untuk sawah beririgasi baik.
Metode-metode baru, terutama untuk penyiangan, pemanenan dan pengulitan padi, pada akhirnya menurunkan biaya pengolahan tetapi mengurangi kesempatan kerja bagi para buruh.
Kalangan elit pedesaan dan para masyarakat perkotaan menggabungkan tanah-tanah terpecah, sehingga para petani miskin tidak memiliki cukup biaya untuk mengolahnya.
Metode-metode pertanian baru dan perubahan bentuk kontrak kerja memperlemah hubungan investor-pelanggan (patron-client) serta hubungan masyarakat yang diyakini menganut konsep Geertz (1963) mengenai norma budaya “berbagi kemiskinan” (shared poverty). Selain itu, perhatian diberikan terhadap peningkatan pergeseran produk industri rumah tangga ke berbagai produk manufaktur.
Pernyataan-pernyatan tersebut mengandung kebenaran, namun gambaran suram adanya peningkatan ketidakmerataan pendapatan, kemiskinan dan polarisasi yang ditunjukkan pada era 1970-an dan awal 1980-an terlalu menyederhanakan dan tidak memberikan gambaran yang akurat mengenai berbagai kenyataan pedesaan.
Hal tersebut didasarkan pada:
· Meskipun berbagai metode baru untuk mengolah padi menguntungkan kalangan elit pedesaan lebih awal dan lebih luas dibandingkan dengan para petani kecil, beberapa petani dengan tanah yang sempit juga mendapatkan keuntungan dari peningkatan hasil maupun frekuensi panen yang dimungkinkan oleh berbagai teknologi baru. Selain itu, peningkatan kebutuhan tenaga kerja untuk panen yang berulang kali tersebut telah menggantikan kerugian yang disebabkan oleh pengalihan tenaga kerja serta berbagai permasalahan distribusi pekerjaan akibat adanya teknik-teknik baru pengolahan dan kontrak kerja baru.
· Meskipun para petani besar seringkali mengendalikan sawah dalam jumlah yang lebih besar daripada yang mereka miliki, tetapi umumnya sawah tidak terpusat dalam satu kepemilikan yang besar. Hal ini bisa terjadi karena tersedianya berbagai lapangan pekerjaan yang memungkinkan banyak petani kecil untuk mempertahankan tanah mereka, serta tersedianya kesempatan bagi para petani besar yang mampu mendiversifikasi investasi ekonomi mereka untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi dan melakukan investasi.
· Secara keseluruhan desa-desa di daerah persawahan dataran rendah mengalami pembangunan ekonomi dan peningkatan monetisasi, hasil panen yang jauh lebih tinggi, dan penambahan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki tanah. Hal ini menunjukkan sebuah pola baru akan adanya berbagai sumber pendapatan (termasuk berbagai aktivitas baru di pertanian seperti bidang manufaktur, jasa dan perdagangan), dan mobilitas yang lebih tinggi.


Membangun Lembaga Keuangan Pedesaan
· Indonesia telah memiliki sejarah yang panjang dalam lembaga keuangan pedesaan, yang berawal pada akhir abad ke-19 pada saat Volksbank (Bank Rakyat) dan Afdeelingsbank (Bank Kabupaten) diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Istilah generik untuk bank lokal yang kecil adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). BPR adalah lembaga keuangan kecil yang mandiri dan berada dimana-mana. Kebanyakan menawarkan fasilitas kredit maupun simpanan.
· Pemerintah kolonial Belanda di Indonesia memperkenalkan berbagai bentuk BPR pada awal tahun 1895. Pendirian beberapa bank yang pada akhirnya menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) berawal pada tahun 1895. Namun, bukan hanya BRI yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda; banyak bank kabupaten dan lumbung desa yang berawal saat yang sama di Jawa dan Madura. Rencana yang pertama adalah membangun sistem perbankan koperasi pedesaan di Indonesia berdasarkan model Raiffeisen. Lumbung-lumbung desa membentuk koperasi kredit tingkat pedesaan, dan bank kabupaten akan menjadi lapisan kedua dalam struktur koperasi. Pada awalnya lumbung desa menyediakan (dan menagih) pinjaman dalam bentuk padi. Tujuan utamanya adalah meratakan fluktuasi musiman pasokan beras. Namun, pada awal tahun 1900-an beberapa lumbung desa di daerah yang lebih maju di Jawa mulai meminjamkan dan menagih pinjaman dalam bentuk uang tunai. Akhirnya pada tahun 1904 pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan bank desa yang beroperasi berdasarkan uang.
· Bank Indonesia pada tahun 1978 memperkenalkan Istilah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai istilah umum bagi bank rakyat. Istilah ini mencakup pula Bank Kredit Desa (BKD) yang dimiliki oleh pedesaan (lumbung desa dan bank desa), Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP)), dan beberapa lembaga keuangan kecil lain seperti, bank daerah pedesaan, bank desa, bank pasar, bank koperasi dan lain-lain.
· Istilah BPR saat ini memiliki dua arti utama. Pertama, Istilah BPR yang merujuk kepada berbagai lembaga keuangan pedesaan yang kriterianya dispesifikasikan UU Perbankan tahun 1992 (BPR memiliki izin); kedua, istilah BPR juga digunakan untuk sekitar 9.000 berbagai jenis BPR yang sekarang ada di Indonesia (BPR generik). Beberapa BPR di Indonesia memiliki kinerja yang cukup baik, beberapa memiliki kinerja yang buruk, dan beberapa berada ditengah-tengah. Namun, BPR yang tidak memiliki kinerja baik diperbolehkan untuk menutup usahanya.

Keuangan Pedesaan pada Tahun 1980-an
· Kebanyakan kredit pedesaan untuk rumah tangga berpenghasilan rendah berasal dari sektor informal. Pada umumnya, tingkat suku bunga efektif bulanan yang dibebankan oleh pemberi pinjaman komersial—yaitu pemberi pinjaman profesional, pemasok komoditi, pedagang, dan tuan tanah—kepada peminjam berpenghasilan rendah di pedesaan Indonesia berkisar dari sekitar 10 persen sampai lebih dari 60 persen.
· Pinjaman biasanya didapatkan dengan bunga yang rendah atau tanpa bunga sama sekali dari para kerabat, teman dan perkumpulan arisan. Namun, kredit seperti itu mungkin akan dapat menimbulkan biaya non-keuangan dan umumnya disediakan hanya untuk keadaan darurat, acara-acara khusus atau jumlah pinjaman relatif lebih kecil. Pinjaman seperti itu sering kali tidak tersedia, dan tidak sesuai (dalam hal jumlah, waktu, atau opsi untuk meminjam kembali) untuk modal berkerja atau investasi.
· Fasilitas untuk tabungan pedesaaan amat jarang, kecuali untuk BPR dan beberapa koperasi kredit. Kebanyakan rakyat pedesaan menabung uang tunai mereka di dalam rumah dan perkumpulan arisan. Simpanan dalam bentuk emas, hasil panen, hewan, bahan baku, dan barang jadi adalah hal yang biasa. Kebanyakan bank komersial tidak menghimpun simpanan sukarela dari daerah pedesaan, dan biasanya bukan dari rakyat miskin.

Inisiatif Keuangan Mikro Pemerintah Tahun 1990-an
· Pada awal dan pertengahan tahun 1990-an, berbagai inisiatif baru pemerintah dan instruksi presiden mengenai keuangan mikro di daerah pedesaan terasa sangat kuat. Di satu sisi, ada UU Perbankan tahun 1992 yang mendefinisikan bank, peran-peran mereka, pengawasannya, yang ditujukan utnuk memperkuat industri perbankan, termasuk perbankan bagi rakyat berpenghasilan rendah. Di sisi lain, terdapat bermacam-macam program kredit bermotivasi politik.
· Faktor yang menggerakan banyak program kredit pada pertengahan tahun 1990-an—yang menekankan secara cukup terbuka akan pentingnya hal ini bagi kaum pribumi—bercampur aduk. Hal ini berakar dari prioritas pemeritah untuk memberikan dukungan keuangan bagi orang Indonesia pribumi demi menjaga dukungan masyarakat elit pedesaan terhadap Golkar (dengan asumsi yang tepat bahwa rakyat elit pedesaan akan merima bagian yang cukup besar dari kredi bank yang diarahkan tersebut). Selain itu, juga untuk menghindari sorotan atas peningkatan kekayaan dan korupsi yang dilakukan para konglomerat serta meredam perasaan tidak suku yang makin meningkat terhadap masyarakat etnis Cina.
· UU Perbankan tahun 1992 membatasi BPR “dalam hal lokasi, fungsi dan unsur pembentukan portofolio. Mereka tidak diperbolehkan untuk menyediakan rekening giro dan berpartisipasi dalam sistem pembayaran. Peran utama mereka adalah untuk menghimpun deposito berjangka dan rekening tabungan serta menyalurkan kredit. Meskipun UU Perbankan menyatakan bahwa lembaga keuangan pedesaan diwajibkan untuk memenuhi kriteria BPR, krisis dan keruntuhan sistem keuangan Indonesia pada tahun 1980 menyebabkan perubahan dalam pandangan Bank Indonesia serta dalam kebijakan pemerintah. Krisis ini memberikan insentif yang kuat bagi Bank Indonesia untuk mengurangi jumlah lembaga keuangan yang berada di bawah pengawasannya.
· Pada tahun 1990 pemerintah memperkenalkan sebuah program kredit baru yang dinamakan Kredit Usaha Kecil (KUK). Semua bank di Indonesia diwajibkan untuk meminjamkan paling sedikit 20 persen dari volume kredit kepada usaha-usaha kecil. Banyak BPR tidak dapat menyerap semua dana KUK yang disediakan oleh bank komersial, sehingga sebagian besar dari dana tersebut jatuh kepada pasar uang antarbank dibanding usaha-usaha kecil tersebut. Permasalahan selanjutnya adalah dana KUK yang besar tidak mendukung BPR untuk menghimpunan simpanan. Secara teori, pinajaman KUK tidak memikiki nilai minimum dan seharusnya disediakan bagi usaha-usaha kecil. Dalam praktiknya, pinjaman-pinjaman tersebut jarang menjangkau nasabah miskin, walaupun mereka berhasil menjangkau beberapa usaha-usaha kecil dan menengah. Tetapi, banyak banyak bank yang memenuhi kuota KUK mereka dengan membiayai kredit kepemilikan mobil dan rumah, dan bukannya usaha-usaha kecil.
· Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencetuskan Program Keluarga Sejahtera yaitu program keuangan mikro yang besar, mendapatkan publisitas tinggi, namun tidak berkesinambungan, menekankan prioritas politik jangka pendek dengan mengorbankan pembangunan keuangan mikro yang layak. Selain itu, distribusi yang luas atas kredit bersubsidi tinggi tersebut membuat program ini bersaing secara tidak sehat dengan BPR dan BRI Unit, yang memberikan pinjaman kepada pasar yang relatif sama, namun dengan tingkat suku bunga komersial. Inilah satu contoh dari banyak contoh dari kebijakan-kebijakan serta pendekatan kredit mikro yang saling bertentang secara bersamaan di desa-desa yang sama pada pertengahan tahun 1990-an.
· Instruksi Presiden Tahun 1993 menciptakan Program INPRES Desa Tertinggal (IDT) untuk desa-desa terbelakang yang dikordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyediakan dana untuk sekitar 28.000 desa yang diidentifikasi sebuah desa miskin. Berdasarkan hasil sebuah evaluasi tahun 1995 menunjukkan bahwa program-program IDT memiliki berbagai masalah. Diantarannya adalah peran yang dimainkan oleh para fasilitator yang tidak memiliki latar belakang dalam aktivitas komersial atau produksi, serta pengembangan rencana-rencana bisnis yang memiliki potensi kecil untuk menghasilkan keuntungan. Selain itu, adanya penekanan pada keuntungan politik jangka pendek pada pengeluaran dana terhadap rakyat miskin yang mendapatkan publisitas tinggi, dan bukannya penekanan pada perancangan dan pelaksanaan program yang profesional.


Keuangan Pedesaan pada Tahun 1990-an
· Paket deregulasi 1988 (PAKTO 88) yang telah meliberalisasi sektor perbankan, dan UU Perbankan Tahun 1992, menyebabkan bank baru dan cabang-cabang bank meningkat dengan pesat. Pada pertengahan tahun 1990-an sektor keuangan pedesaan juga telah melakukan ekspansi besar-besaran. Indonesia adalah rumah bagi banyak jenis lembaga keuangan yang beroperasi di daerah pedesaan, sebagian sudah berdiri lama dan beberapa masih baru (lembaga yang dibuka setelah PAKTO 88), termasuk cabang-cabang bank komersial swasta dan pemerintah; bank pemerintah propinsi, badan kredit yang dimiliki oleh pemerintah propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa; koperasi; BPR berizin, baik yang baru maupun yang lama, publik maupun swasta; serta ribuan BPR generik. Banyak BPR baru telah dibuka setelah PAKTO 88, dimana para pemilik serta pengelolanya sering kali hanya memiliki sedikit pengalaman di bidang perbankan. Banyak BPR yang dididirikan setelah tahun 1988 dimiliki oleh swasta dan didanai secara komersial dari sumber-sumber lokal, yaitu tabungan, utang komersial (terutama dari pinjaman KUK selam era 1990-an), dan ekuitas. Namun, tahun 1999 Bank Indonesia mengalokasikan konsesi jalur kredit kepada BPR.
· Steinwand (2001) mengemukakan beberapa perbedaan penting antara BPR publik dan BPR swasta sebagai berikut:
· BPR swasta saling bersaing satu sama lain. Sementara BPR publik pada umumnya tidak saling bersaing oleh karena lokasi mereka yang terpisah.
· BPR publik mampu menghimpun simpanan berbiaya rendah yang lebih besar daripada BPR swasta.
· BPR publik memiliki nilai rata-rata pinjaman lebih kecil dan tingkat kredit macet yang lebih rendah daripada BPR swasta. Hal ini disebabkan BPR publik menawarkan suku bunga simpanan yang lebih rendah daripada BPR swasta.
· BPR berizin, kebanyakan milik swasta diawasi oleh Bank Indonesia. BPR swasta yang memiliki izin tidak mempunyai hubungan resmi dengan perbankan komersial (kecuali yang dimiliki oleh BPR komersial), tetapi banyak diantaranya mempunyai rekening di bank komersial, dan sebagian memiliki pinjaman. Sebaliknya, BPR publik mempunyai hubungan yan dekat, baik secara keuangan maupun dalam pengawasannya, dengan perbankan komersial. BPR publik mendapatkan pengawasan lebih baik dari para perusahaan pengawas formal, maupun dari mekanisme pengendali informasi dibanding BPR swasta.
· BPR publik lebih menguntungkan dibandingkan BPR swasta, tetapi karena tidak mendapat cukup bekal untuk menghadapi kerugian akibat kehilangan pinjaman serta tidak melakulan audit yang teratur, keuntungan yang dilaporkan sering tidak disesuaikan dengan pinjaman yang hilang dan dihapus atau tidak disesuaikan dengan inflasi. Hal ini mempersulit terbentuknya gambaran asli mengenai profitabilitas BPR.
Berdasarkan pandangan Steinwand tersebut, Marguerite S. Robinson menyimpulkan perbedaan lain antara BPR Publik dan BPR Swasta yakni diantaranya:
· BPR swasta merupakan BPR yang baru, terutama berada di perkotaan atau semi perkotaan, mempunyai struktur kepemilikan yang heterogen, umumya tanpa pengawasan yang layak, tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan perbankan komersial, dan umumnya tidak mempunyai pengalaman yang cukup dibidang perbankan, paling tidak pada awalnya. Sebaliknya, BPR publik cenderung lebih berpengalaman dan lebih terpercaya; mereka ada di pedesaan; dimiliki oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kecamatan atau oleh desa; dan diawasi oleh bank komersial. Sebagai sebuah kelompok, BPR publik memiliki jumlah simpanan yang lebih besar, tingkat kredit macet yang lebih rendah (meski lebih tinggi dibandingkan BRI Unit), jangkauan lebih dalam, serta keuntungan lebih besar dibanding BPR swasta. Hal yang patut diketahui bahwa BPR publik beroperasi di lingkungan kuasi-monopoli, namun BPR swasta yang kebanyakan beroperasi di daerah dengan tingkat persaingan yang tinggi, memiliki aktiva lebih besar dan jangkauan yang lebih luas dari BPR Publik.
· BPR swasta tidak lahir dengan hubungan seperti yang dimiliki BPR publik. BPR swasta merupakan jaringan yang berkembang baik dengan perbankan komersial maupun dengan BPR lainnya. BPR swasta belajar beroperasi dilingkungan yang sangat sarat persaingan—dan dilingkungan seperti inilah tampaknya masa depan keuangan mikro terletak.
Berdasarkan hasil studinya Steinwand mengemukakan beberapa pelajaran penting yang dapat diambil: pertama, lembaga keuangan mikro baik swasta maupun pemerintah, dapat beroperasi secara mandiri; kedua, BPR menjadi lebih mandiri ketika mereka bertindak sebagai perantara keuangan, memberi pinjaman dari dana simpanan; ketiga, Seiring waktu BPR publik yang kinerjanya buruk akan tersisih. Hal yang sama berlaku untuk BPR swasta; dalam dekade berikut mungkin sekali bagi BPR swasta yang mampu bertahan untuk dapat berkembangan secara substansial.
Hal terpenting adalah BPR generik sebagai satu kelompok—yang sangat kontras dengan perbankan komersial—mampu bertahan dalam krisis Indonesia, mempertahankan jangkauan, likuiditas, dan dalam beberapa kasus, mempertahankan profitabilitas.

Lembaga Keuangan Pedesaan di Indonesia Tahun 2000
Para politikus dan elit pedesaan menemukan jalan untuk memperoleh dan memanfaatkan dana yang besarnya dijatah dan harganya dibawah pasar yakni program kredit pedesaan bersubsidi dengan skala besar yang sudah dikembangkan di Indonesia sejak awal tahun 1970-an. Pemerintah pusat juga menyediakan kredit yang tersebar luas, yang tidak dirancang baik, dan sarat subsidi melalui program-program seperti KUKESRA, IDT, kredit likuiditas bersubsidi bagi KUD dan KUT. Program-program ini tidak lebih berhasil dalam menjangkau masyarakat tidak mampu pada tahun 1990-an dibandingkan program kredit bersubsidi pada tahun 1970-an. Sementara itu, para donor dan pemerintah bekerjasama membawa program raksasa yang rumit lagi mahal seperti Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). yang tidak sesuai, tidak berkesinambungan dan sering mengakibatkan para peminjam tidak mampu membayar bunga yang jauh lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh BPR dan BRI Unit.
Banyak BPR merupakan perantara keuangan komersial seperti BRI Unit. Pinjaman yang diberikan BPR umumnya dibiayai dari simpanan dan ekuitas, serta pinjaman dari perbankan komersial. Pinjaman yang diberikan BRI Unit didanai dari simpanan masyarakat mampu dan tidak mampu. Fakta menunjukkan bahwa perantara keuangan terbukti lebih stabil, menguntungkan dan berkesinambungan dibandingkan organisasi yang menekankan pada pemberian kredit. Namun peran simpanan tidak selalu dipahami atau dihargai, penyuntikan dana eksternal yang besar seperti dana KUK menyurutkan mobilisasi dana simpanan sukarela. Dan terdapat program orientasi-kredit yang mengabaikan tuntutan luas masyarakat tidak mampu untuk mendapatkan fasilitas simpanan sukarela.
Kebanyakan lembaga keuangan komersial Indonesia yang melayani masyarakat tidak mampu merupakan perusahan milik pemerintah atau publik. Hal ini bertolak belakang dengan banyak pengalaman dan pandangan dunia internasional yang menyatakan bahwa lembaga keuangan yang memiliki potensi untuk mandiri seharusnya berada di sektor swasta. Keuangan mikro komersial dapat berhasil baik dilembaga publik dan swasta. Tidak ada alasan tepat untuk mengabaikan salah satu dari pendekatan yang ada.
Krisis yang baru-baru ini melanda Indonesia hanya berdampak sedikit bagi banyak BPR, BRI Unit, dan Bank Dagang Bali. Masyarakat berpenghasilan rendah (kebanyakan di sektor perekonomian domestik) terus menabung pada lembaga yang mereka percaya. Para penabung meninggalkan bank yang keropos dan pindah ke lembaga keuangan yang mereka yakini memiliki kinerja baik (baik publik maupun swasta). Keuangan mikro komersial (yang diterapkan pada beragai jenis lembaga) tidak hanya mampu menyediakan jangkauan luas dan profitabilitas institusionak, tetapi juga stabilitas jangka panjang dalam kondisi-kondisi yang benar-benar sulit.

Hal-Hal yang diperlu ditindaklanjuti berkaitan lembaga keuangan pedesaan (LKP) di Indonesia dalam tulisan ini sebagai berikut:
Status hukum LKP
a) Status BKD yang masih "menggantung" (berstatus BPR tapi belum BPR). Berdasarkan UU Perbankan No. 7/1992, BKD memperoleh status sebagai BPR, tetapi tidak/belum memenuhi beberapa persyaratan/kewajiban sebagai BPR. Dari segi bentuk hukum, BKD juga menghadapi masalah karena bentuk hukum BPR yang diperbolehkan menurut UU Perbankan adalah perusahaan daerah, koperasi, atau perseroan terbatas. SKB Depdagri-BI-Depkeu 26 September 1994 mengatakan bahwa LDKP yang tidak dikukuhkan menjadi BPR "tetap dapat meneruskan usahanya sebagai LDKP, dan dalam status ini dilarang melakukan usaha perbankan sebagaimana diatur dalam pasal13 UU No.7 tahun 1992". Padahal pasal tersebut mengatakan bahwa usaha perbankan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan memberikan kredit, jadi apakah berarti LDKP yang tidak menjadi BPR tidak boleh beroperasi lagi. Tidak konsistennya konsep BPR yang dianut pemerintah, sehingga merugikan eksistensi LKP pra-Pakto. Semula UU Perbankan No.14/1967 dan SK Menkeu No. 1064/KMK.001/1988 menyebutkan bahwa BKD, LDKP , bank pasar dan sejenisnya adalah identik dengan BPR. Kemudian tindak lanjut UU Perbankan No. 7/1992 mewajibkan LKP yang telah berdiri sebelumnya tapi belum memperoleh izin usaha sebagai BPR untuk mengajukan permohonan izin usaha dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan (yaitu PP No. 71/1992 dan SKB Depdagri-BI-Depkeu 26 September 1994 ). Latar belakangnya ternyata penjelasan pasal 21 ayat 2 UU No. 7/1992 yang mengatakan bahwa lembaga-lembaga tsb. adalah "lembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR", berarti tidak identik dengan BPR, dan oleh karenanya harus meningkatkan diri menjadi BPR. Di kalangan otoritas moneter rupanya dianut mitos bahwa lembaga keuangan yang lebih besar adalah yang lebih baik. Diperbolehkannya BPR membuka kantor cabang di luar wilayah kecamatan, bahkan kabupaten, lebih mengaburkan konsep BPR sebagai community bank yang diharapkan "memperdalam " akses pelayanan kepada masyarakat di sekitamya. Kurang difahaminya konsep LKP oleh pihak pengawas BPR dan sudut pandang yang berorientasi kepada perbankan umum terlihat dari perbedaan persepsi di lapangan mengenai hal-hal yang justru merupakan pelaksanaan misi LKP, seperti pemberian kredit dalam jumlah kecil-kecil dan pemberian kredit tanpa agunan.
b) Undang-UndangPokok Perbankan Nomor 7 tahun 1992 terkesan menitikberatkan efisiensi dengan menyederhanakan struktur perbankan, tetapi kurang memperhatikan aspek “kebijaksanaan” dan “keadilan” bagi lembaga keuangan tradisional yang telah lama ada, dan menempatkan LKP “terjepit” di antara dua kebijakan yang tidak mendukung perkembangan dan kelestarian hidupnya, yakni di satu pihak sebagai lembaga keuangan menghadapi kebijakan perbankan yang lebih menguntungkan BPR gaya baru, di lain pihak sebagai lembaga pedesaan menghadapi kebijaksanaan pemerintah yang cenderung menganakemaskan KUD dan menciptakan LKP skema-skema kredit pedesaan baru. Kebijakan yang berdampak negatif bagi LKP dalam deregulasi perbankan tersebut dilatar belakangi oleh persepsi bahwa LKP adalah bentuk paling “kecil” atau paling “lemah” dari bank umum. Hal itu juga menunjukkan bahwa, paling tidak sampai dengan tahun 1998, otoritas perbankan Indonesia belum tersentuh oleh wacana keuangan mikro yang berkembang di dunia luar. Kriteria CAMEL yang di terapkan untuk menilai tingkat kesehatan BPR, yang sebelumnya lazim di terapkan untuk bank umum, kurang tepat dipakai untuk menilai kinerja LKP karena tidak mengukur efektivitas mereka di dalam memberikan akses pelayanan kepada masyarakat dan potensi kemandirian/kelestarian mereka.

Aspek eksternal dan aspek internal
a) Permasalahan eksternal yang dihadapi LKP adalah aspek kelembagaan, yang antara lain mengakibatkan bentuk LKP yang beranek ragam. BRI Unit dan BPR, misalnya adalah bentuk LKP yang secara kelembagaan lebih kelas karena mengacu pada ketentuan perbankan dengan pembinaan dari Bank Indonesia. LKP jenis ini lebih terarah dan bahkan terjami kepercayaannya karena merupakan bagian dari kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan berhak mendapatkan fasilitas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sementara, pada LKP berbentuk koperasi simpan pinjam atau Unit Simpan Pinjam, segala ketentuan dan arah pengembangannya mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Kementrian KUMK. Bahkan untuk LKP lain seperti BKD, LDKP, Credit Union, maupun lembaga non pemerintah lainnnya tidak jelas kelembagaanya dan pembinanya. Padahal, jika dilihat dari fungsi LKP sebenarnya tidak berbeda dengan lembaga formal yaitu sebagai lembaga intermedia keuangan. Kondisi kelembagaan yang beragam dan tidak jelas, akan dapat mempersulit pengembangan LKP di masa mendatang.
b) LKP juga dihadapkan pada masalah internal yang menyangkut aspek operasional dan pemberdayaan usaha. Diantara permasalahan internal adalah menyangkut kemampuan LKP dalam menghimpun dana. Sebagian besar LKP masih terbatas kemampuanya karena masih tergantung kepada jumlah anggota/nasabah serta besaran modal sendiri. Kemampuan sumbedaya manusia LKP dalam mengelola usaha sebagian besar juga masih terbatas, sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi perkembangan LKP, bahkan bisa menjadi faktor penghambat yang cukup serius.
LKP Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pembangunan ekonomi pedesaan sebaiknya memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Tidak menggunakan pola pelayanan keuangan perbankan konvensional, terutama tidak mensyaraktkan kolateral dan tidak terdapat proses administratif formal yang menyulitkan.
b) Sasarannya adalah masyarakat miskin dan pengusaha mikro, dimana jasa keuangan yang diberikan dapat disesuaikan dengan karakteristik kelompok sararan tersebut.
c) Menggunakan pendekatan kelompok, baik dengan ataupun tidak dengan sistem tanggung renteng yang mengedepankan pola hubungan kenal dekat sebagai landasan utama mengelola resiko;
d) Lingkup kegiatan LKP dapat mencakup pembiayaan kegiatan ekonomi produktif maupun konsumtif, pendampingan dan pendidika, kegiatan penghimpunan dan bentuk kegiatanlain yang dibutuhkan oleh pengusaha mikro dan masyarakat miskin.