Friday, October 19, 2007

ontologi

Review Filsafat Ilmu:

ONTOLOGI

Pengantar
Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Menurut Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, dengan demikian, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna.
Hornby menyatakan pula bahwa pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.

Ilmu Pengatahuan
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dari hasil pengamatan/penelitian ini akan dihasilkan teori dan dapat pula pengamatan/penelitian ini pula ditujukan untuk menguji teori yang ada. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.
Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. Dengan demikian, agama sebagai misal, karena sifat normatifnya yang mutlak dan mengandung kebenaran yang tidak bisa dipertentangkan, bukan bagian dari ilmu pengetahuan.
Bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir manusia yang tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian.
Berfikir merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau pengalaman dengan maksud tertentu. Makin luas dan dalam suatu pengalaman atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh proses berfikir yang dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan untuk mengabstraksi obyek menjadi sejumlah informasi dan mengolah informasi untuk maksud tertentu.
Berfikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan umpan balik kepada berfikir. Hubungan interaksi antara berfikir dan pengetahuan berlangsung secara sinambung dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan akan berlangsung secara kumulatif. Bagian terpenting dari berfikir adalah kecerdasan mengupas (critical intelegence). *Ontologi ilmu, suatu analisis filsafat tentang kenyataan dan keberadaan yang berkaitan dengan hakikat “ada”.
*Episomologi ilmu, suatu teori tentang pengetahuan yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan dan metode keilmuan.
*Aksiologi ilmu, suatu teori tentang nilai atau makna.
Untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dari proses berfikir yang benar, dalam arti sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti harus menggunakan penalaran yang benar dalam berfikir. Hasil penalaran itu akan menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan.
Secara definisi, nalar merupakan kemampuan atau daya untuk memahami suatu informasi dan menarik kesimpulan. Dengan nalar tersebut, sesorang akan dapat menyajikan gagasan atau pendapat secara tertib, runtut, teratur dan mengikuti struktur yang sifatnya logis (mantik). Dengan nalar, ilmu dapat berfungsi menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan keadaan atau kejadian.
Pada dasarnya terdapat dua betuk penalaran; deduksi dan induksi. Deduksi berpangkal pada suatu pendapat umum, berupa teori, hukum atau kaedah dalam menyusun suatu penjelasan tentang suatu kejadian khusus atau dalam menarik suatu kesimpulan. Deduksi bertujuan untuk mencari kesahihan (validitas) suatu informasi, bukan pada kebenarannya. Maka kesahihan struktur argumentasi adalah pokok dalam penalaran deduktif, terlepas dari benar atau tidaknya pangkal pendapat yang dirujuk. Karena rujukannya tersebut sudah pasti, maka deduksi akan menghasilkan ungkapan atau kesimpulan yang berkepastian secara logis. Kelemahan metode penalaran ini adalah kurang mampu membawa hasil penalaran ke pembentukan pendapat atau ide baru.
Induksi berpangkal pada sejumlah fakta empirik untuk menyusun suatu penjelasan umum, teori, atau kaidah yang berlaku secara umum di masyarakat. Karena tidak mungkin untuk mengamati keseluruhan fakta yang ada, terutama pada fakta yang muncul dikemudikan hari, kesimpulan induktif hanya akan dapat mencapai kebenaran yang sifatnya probabilistik. Kesahihan pendapat induktif ditentukan secara mutlak oleh kebenaran fakta yang dijadikan pangkal penalaran. Namun demikian, induksi memiliki peluang untuk menciptakan teori baru.
Jika induksi dan deduksi dapat digabungkan menjadi satu kesatuan struktur penalaran, maka penalaran akan menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, kekurangpastian dari logika induksi akan dapat dikompensasi oleh kelebih pastian logika deduksi. Demikain pula, kekurangmampuan metode deduksi dalam melahirkan teori baru akan terkompensasi oleh kemampuan yang lebih pada metode induksi untuk melahirkan teori baru (Tejoyuwono, 1991).

Pengertian Ontologi
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu. Neches (1991) memberikan definisi tentang ontologi yaitu: “Sebuah ontologi merupakan definisi dari pengertian dasar dan relasi vocabulary dari sebuah area sebagaimana aturan dari kombinasi istilah dan relasi untuk mendefinisikan vocabulary”.
Gruber (1991) memberikan definisi yang sering digunakan oleh beberapa orang, definisi tersebut adalah “Ontologi merupakan sebuah spesifikasi eksplisit dari konseptualisme”. Berdasarkan definisi Gruber tersebut banyak orang yang mengemukakan definisi tentang ontologi diantaranya Guarino dan Giaretta (1995) mengumpulkan definisi yang berkoresponden dengan syntactic dan semantic interprestasi. Sedangkan Borst (1997) melakukan penambahan dari definisi Gruber dengan mengatakan “Sebuah ontologi adalah spesifikasi formal dari sebuah konseptual yang diterima (share)”.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.

Metafisika
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait.
Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini (Jujun, 2005).
a. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
b. Naturalisme.
Paham ini menolak wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindra.
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika. Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.
Kaum vitalistik mempertanyakan apakah manusia merupakan bagian dari proses kimia fisika tersebut. Pertanyaan berlanjut pada bagaimana pandangan mengenai pikiran (kesadaran)? Bagi kaum vitalistik, hidup merupakan sesuatu yang unik yang berbeda dengan proses kimia fisika tersebut. Proses berfikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun, apakah apakah kebenarannya dari hakikat pikiran tersebut? Apakah dia berbeda dengan benda yang ditelaahnya, ataukah bentuk lain dari zat tersebut?
Kelompok naturalis yang lain, yaitu aliran monoistik dengan tokohnya Christian Wolf (1679-1754), menyatakan bahwa tidak berbeda antara pikiran dengan zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan proses berlainan, namun memiliki substansi yang sama. Sebagaimana energi dan zat, teori Einstein: menyatakan energi hanya bentuk lain dari zat. Jadi proses berfikir dianggap sebagai aktivitas elektro kimia dari otak.
Kelompok lainnya, yaitu aliran dualistik memberikan pendapat yang berbeda tentang makna kesadaran. Zat dan kesadaran (fikiran) adalah berbeda secara substantif, sui generalis. Tokoh penganut paham ini antara lain Rene Descartes, John Locke dan George Berkeley. Mereka menyatakan bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran manusia, termasuk penginderaan dari hasil pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Yang bersikap nyata hanyalah pikiran, karena dengan berpikir maka sesuatu itu akan menjadi ada. Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada.
John Locke mengibaratkan pikiran manusia pada awalnya merupakan sebuah lempeng yang licin dan rata dimana pengalaman inderawi akan melekat dalam lempeng tersebut. Organ manusia lah yang menangkap dan menyimpan pengalaman inderawi.
Berkeley terkenal dengan ungkapannya to be is to be perceived. Ada adalah disebabkan oleh persepsi. Sesuatu akan muncul karena manusia berpikir dan memunculkan suatu anggapan. Proses kreasi muncul karena persepsi ini dan menghasilkan sesuatu yang berujud.
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu adalah sifat pragmatis dari ilmu.

Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.
Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya.
Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen .
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):
1. Deterministik.
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal. Tokoh: William hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat uiversal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik lebih banyak dikenal dan asumsinya banyak digunakan dibanding ilmu sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam. Satu jam adalah sama dengan 60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapa pun jumlah percobaan dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan carbon dioksida.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu;
Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang.
Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.
Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini?
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis
Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif.
Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:
Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep–kosep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada.
Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada persepsi individu.
Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial, terdapat dua asumsi berbeda dalam membicarakan tentang sifat masyarakat sosial. Asumsi ini sangat penting dalam menentukan pendekatan terhadap masalah–masalah yang berhubungan dengan konflik, perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi yang berbeda ini tercermin dalam dua teori:
Order
Asumsi ini lebih diterima secara umum oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat:
  • Relatif stabil.
  • Terintegrasi dengan baik.
  • Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi masing–masing dan saling berkoordinasi.
  • Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus, bukan pemaksaan (coercion )
  • Konflik
  • Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat :
  • Mengalami perubahan di banyak aspek
  • Mengalami konflik di banyak aspek.
Setiap elemen dari masyarakat memiliki kontribusi ke arah disintegrasi
Perbedaan order versus konflik ini cenderung ditinggalkan dan digantikan oleh regulation (regulasi) versus radical change (perubahan radikal). Pandangan yang bersifat regulasi lebih terkait pada bagaimana masyarakat cenderung menjadi sebuah kesatuan dan adanya kebutuhan akan regulasi. Pandangan perubahan radikal berfokus kepada bagaimana terciptanya perubahan radikal, konflk, dominasi dan kontradiksi.
Penelaahan suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji permasalahan dalam masyarakat, terlebih entitas lokal, perlu menggunakan pilihan asumsi yang tepat. Bidang kajian ilmu ekonomi pembangunan perlu melihat kondisi aspek kemasyarakatan secara detil. Kesalahan penggunaan asumsi akan memberikan dampak negatif bagi obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek pengetahuan tersebut. Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari penelitian mengenai proses pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan tidak tepat.

Penjelajahan Ilmu Pengetahuan
Apakah yang menjadi batas lingkup penjelajahan ilmu? Pertanyaan ontologis dari filsafat ilmu pengetahuan menjadi perlu disampaikan. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Mengapa dengan batas demikian? Apakah hanya sebatas pengalaman manusia saja?
Ilmu hanya membatasi diri dari batas pengalaman dan kemampuan pengetahuan manusia saja. Dalam hal ini, terdapat beberapa alasan yang melatar belakangi jawaban ini (jujun 1993);
Ilmu memiliki fungsi sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari.
Karena metode yang digunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empirik. Jika ilmu melingkupi sesuatu yang berada di luar batas pengalaman manusia, maka pembuktian secara metodologis tidak akan bisa diperoleh. Jika hal tersebut dipaksakan, maka metode ilmiah menjadi tidak sahih.
Dengan demikian batas jelajah ilmu menjadi sempit. Ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling pada sumber-sumber moral. Tentang indah dan jelek, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetika.
Pada saat ini diperkirakan cabang keilmuan telah mencapai sekitar 650 cabang ilmu. Jika pada fase awal, hanya terdapat ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy), maka dewasa ini telah menjadi cabang-cabang keilmuan yang sangat banyak dan terus tumbuh sesuai dengan kebutuhan manusia. Ilmu-ilmu alam membagi menjadi kelompok ilmu alam fisik (the physical science) dan ilmu hayat (the biological science).
Bidang ilmu sosial demikian pula menjadi berkembang meskipun perkembangannya lebih lambat dibanding ilmu alam. Pada intinya terdapat cabang ilmu sosial yang berkembang saat ini adalah; ilmu antropologi yang membahas manusia dalam perspektif waktu dan tempat, psikologi yang membahas proses mental dan kelakuan manusia, ekonomi yang mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhannya melalui proses pertukaran, sosiologi yang mempelajari struktur organisasi sosial manusia dan ilmu politik yang membahas sistem dan proses kehidupan manusia dalam pemerintahan dan bernegara.
Setiap ilmuwan harus mengetahui dengan benar batas-batas penjelajahan cabang-cabang ilmunya. Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan, maka diperlukan “pandangan” dari cabang ilmu disiplin lain. Pendekatan multi-disipliner ini membutuhkan pengetahuan tentang cabang keilmuan yang bertetangga, atau yang berdekatan.
Sebagai contoh perlunya multi disipliner ini adalah dengan munculnya ilmu tentang pengembangan ilmu mekanika komputer. Dalam ilmu ini dikembangkan aplikasi Artificial Intellegence (AI) sebagai upaya cabang ilmu komputer untuk mendekatkan dan membantu cabang ilmu lainnya.
Pada era modern ini dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia, upaya penyelesaian masalah memerlukan bukan hanya dengan satu cabang bidang ilmu saja. Diperlukan upaya multi-disiplin ilmu untuk memecahkan realitas yang muncul. Pada gambar 3 terlihat pula dalam struktur AI, ilmu manajemen memerlukan tambahan pendekatan matematika dan statistika, sebagaimana pula seorang psikolog tidak hanya memerlukan ilmu psikologi semata melainkan pula memerlukan bantuan ilmu lain semisal sosiolinguistik.

Referensi:

  • Balza, A., Kecerdasan Buatan, Yogyakarta, 2006
  • Finin T. R. Gruber T. Senator R. Neches, R. E. Fikes and W. R. Swartout. Enabling Technology for Knowledge Sharing. 1991
  • Jujun S. M., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005
  • McMullin, E., “Ernan McMullin, The Social Dimensi of Science”, dalam Balashov Y. And Rosenberg, A. (Editor), Philosophy of Science Contemporary Readings, Routledge, London, 2002 Tejoyuwono N., Metodologi Penelitian dan Beberapa Implikasinya dalam Penelitian Geografi, Makalah dalam Seminar Aplikasi Penelitian Geografi untuk Perencanaan pengembangan Wilayah Fakultas Geografi UGM, 29-31 Agustus 1991.
  • Willem Nico Borst. Construction of Engineering Ontologies for Knowledge Sharing and Reuse. PhD thesis, University of Twente, Netherland, 1997.