Saturday, October 20, 2007

Metafisik, Moral dan Sains

Review: Filsafat Ilmu Ekonomi


Metafisik, Moral dan Sains

Pendahuluan
Satu alasan mengapa kehidupan modern tidak nyaman adalah bahwa kita telah menumbuhkan self-conscious tentang hal-hal yang sebelumnya kita terima begitu saja. Sebelumnya orang percaya pada apa yang mereka percaya karena mereka pikir itu adalah benar atau karena itu adalah apa yang orang bijak katakan benar. Namun sejak Freud menunjukkan kepada kita tentang rasionalisasi dan Marx menunjukkan bagaimana ide-ide muncul dari ideologi, kita mulai bertanya mengapa kita percaya pada apa yang kita percaya?
Ketika mencoba menjawab pertanyaan ini, kita terjebak pada apa yang disebut sebagai sebuah impenetrable fog dimana semua tergantung pada apa yang kita artikan. Jika demikian halnya, maka hidup menjadi tidak mungkin sehingga kita harus mencari jalan keluarnya. Kita harus mencari akar dari keyakinan kita. Di tengah-tengah upaya mencari jawaban atas mengapa terbentuk sebuah ideologi, kita akan temukan bahwa kehidupan ekonomi atau ilmu ekonomi itu sendiri akan selalu menjadi bagian dari ruling ideology dari masa ke masa, sekaligus merupakan sebuah metode penyelidikan ilmiah.


Ideologi vs. Sains
Bagaimana membedakan ideologi dengan sains? Pertama kita harus tahu apa yang dimaksud sebagai definisi. Penting kiranya untuk membedakan mana yang merupakan logical definitions dan mana yang merupakan kategori alami sejarah. Contoh, sebuah titik adalah sesuatu yang didefinisikan sebagai memiliki posisi namun tidak memiliki magnitude. Tentu saja tidak seorang pun telah melihat sebuah titik. Titik adalah logical abstraction. Bagaimana dengan seekor gajah?
Gajah itu seperti sebuah ideologi. Dia exists dan dapat dideskripsikan dan kita dapat berdebat tentangnya. Namun untuk menyelesaikan sebuah perdebatan, tidak menarik kiranya jika kita menggunakan logical definition. Yang diperlukan bukanlah definisi tapi kriteria.
Apa kriteria dari proposisi ideologi dan –bukan proposisi ilmiah-? Pertama, jika proposisi ideologi diperlakukan dengan cara logis, maka akan menjadi meaningless noise atau akan menghasilkan circular argument. Contoh: pernyataan semua orang sama. Kata “sama” mengandung arti kuantitas. Pertanyaannya, apakah ini merujuk pada tinggi badan, berat badan atau apa? Kata “sama” tanpa adanya penjelasan dalam hal apa akan sepenuhnya menjadi sebuah noise.
Kedua, ciri khas dari proposisi metafisik adalah bahwa ia tidak dapat diuji. Dia mengatakan sesuatu tentang kehidupan nyata tapi kita tidak dapat belajar darinya. Kita juga tidak dapat mengatakan dunia akan berubah menjadi seperti apa tanpanya. Yang bisa kita katakan adalah dunia akan sama seperti saat ini, namun tanpa noises tentang al ini. Proposisi metafisik tidak dapat dibuktikan salah.
Ketiga, meskipun demikian, pernyataan metafisik bukan tanpa isi. Pernyataan ini mengekspresikan sebuah pandangan dan memformulasikan perasaan yang menjadi pegangan dalam bertindak. Slogan “semua orang sama’ merupakan bentuk protes atas pengistimewaan sejak lahir. Proposisi ini menyediakan pijakan untuk menarik hipotesis. Misalnya, dalam slogan “semua orang sama”, mungkin bisa duji apakah kelas sosial atau warna kulit berkorelasi dengan distribusi innate ability.


Egoism vs. Altruistic
Apakah sebuah ideologi dapat atau tidak dihilangkan dalam pemikiran di ilmu sosial, ideologi merupakan keniscayaan dalam dunia nyata kehidupan sosial. Sebuah masyarakat tidak dapat exist tanpa anggota-anggotanya memiliki perasaan yang sama tentang apa yang patut dilakukan dalam berhubungan satu sama lain, dan perasaan umum ini diekspresikan dalam ideologi.
Dari sudut pandang evolusi, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa ideologi adalah substitusi dari instinct. Binatang mengetahuinya begitu saja, sementara kita harus diajari. Karena standar perilaku yang proper tidak diturunkan dari gen, maka bentuk dari ideologi ini bisa macam-macam, tapi suatu standard moralitas penting bagi social animal seperti manusia.
Kebutuhan biologis akan moralitas muncul karena untuk sebuah spesies mampu bertahan hidup, dia dalam satu sisi harus egois – dia perlu mendapatkan makanan baginya, dan bagi keluarganya. Sebaliknya kehidupan sosial menjadi tidak mungkin tanpa adanya mitigasi atas self-interest motivation dengan penghormatan dan kasih sayang kepada orang lain. Sebuah masyarakat yang tidak memiliki mitigasi akan naluri egoisnya akan hancur; sebaliknya seorang individu yang sepenuhnya altruistik menjadi kelaparan. Jadi, harus ada mekanisme yang membuat individu menjaga aturan (rules) ketika aturan ini berbenturan dengan keuntungan pribadinya.
Adam Smith menurunkan moralitas dari perasaan simpati, dengan mengatakan bahwa meskipun seseorang itu egois, dia bahagia melihat orang lain bahagia meski dia tidak mendapatkan apa-apa. Rasa belas kasihan, dan juga perasaan sedih ketika melihat orang lain sedih itu ada. Sentimen-sentimen ini muncul tanpa ada maksud supaya sesorang tampak baik dan manusiawi, meski bisa saja begitu.
Hal ini benar selama dua hal di atas tidak dalam konflik. Jika ada konflik, maka saya akan menyelamatkan diri saya atas beban kamu –simpati tidak cukup untuk menghentikan saya. Karena impuls egois lebih kuat daripada altruistik, maka perlakuan orang lain akan berimbas pada kita. Mekanisme tentang bagaimana sesorang dikenakan adalah moral sense atau kesadaran individu. Sebagai contoh, mencuri bukanlah hal yang sangat jahat. Namun ketika kita bicara orang kaya merampok orang miskin maka kita menjadi sangat tidak suka. Jika sebaliknya, kita sedikit bahagia. Contohnya ketika Robin Hood mencuri, dia memang salah; namun kita tidak sepenuh hati juga dengan polisi. Meskipun demikian kurangnya kejujuran sangat merupakan masalah sangat besar bagi masyarakat. Ini adalah sumber dari beban dan secara luas melemahkan.
Jika tidak ada penghargaan atas hak milik pribadi, maka akan mustahil bicara tentang standar hidup. Misalnya, ketika akan panen, maka harus ada orang yang menjaga lahan agar tidak dicuri. Untuk menciptakan takut akan hukuman dengan kekuatan semacam ini mahal, tidak efektif dan rentan terhadap counter-attack. Kejujuran jauh lebih murah. Tapi perhatikan bahwa kejujuran orang lain penting untuk kenyamanan saya. Jika semua orang jujur kecuali saya, maka saya dalam posisi yang sangat menguntungkan.
Johnson mengatakan bahwa kebahagiaan sebuah masyarakat adalah suatu yang dicita-citakan. Di Sparta mencuri diperbolehkan by general consent sehingga mencuri bukanlah kejahatan. Namun akibatnya tidak ada keamanan; hidup macam apa tanpa adanya keamanan. Tanpa kebenaran, pastilah ada kehancuran masyarakat.
Jadi, meski mencuri tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, rasa penghargaan terhadap hak milik orang lain harus diajarkan. Ini adalah technical necessity, untuk membuat kehidupan sosial mungkin. Jadi isunya bukan apakah pencuri merasa salah dan yang lain memiliki rasa yang lebih benar. Poin-nya bukan pada perasaan subjective masyarakat. Poin-nya adalah pada situasi teknis yang sama – kehidupan sosial dan hak milik individual – membawa pada hasil yang sama: kode moral yang di-backed up dengan sanksi-sanksi.
Manusia memiliki kesadaran akan hal ini, Jadi bukan ada instinct yang membuat pola-pola tertentu, namun kesadaran manusia (pria dan wanita) yang memungkinkan pola masyarakat tumbuh secara berbeda. Isi dari kesadaran tergantung pada masyarakat dimana individu-individu tumbuh. Kesadaran menyatu pada anak melalui proses belajar yang disetujui atau tidak disetujui oleh keluarganya dan ini kemudian bekerja di dalam dan menjadi sebuah keinginan untuk disetujui oleh semua orang. Rasa malu yang dirasakan sendiri secara diam-diam tentu saja kurang menyakitkan dibandingkan jika diketahui oleh orang lain.
Rasa malu adalah alami dan universal, namun apa yang membuat kita malu tergantung pada persetujuan umum. Seperti halnya aturan menyupir di jalan. Ada aturan, dimana kadang harus di sebelah kiri dan kadang di sebelah kanan.
Pada banyak masyarakat hingga saat ini, moralitas ditegakkan melalui agama. Agama berguna dalam rangka memperkuat keinginan individu tentang apa saja yang dia percaya benar sekaligus mengenakan sebuah nilai tentang apa yang dianggap benar. Caranya adalah dengan memberikan rambu-rambu sekaligus pengurangan rasa egosi, dimana yang jahat akan dihukum. Jadi, meskipun tak diketahui publik, rasa malu ini diketahui selain oleh diri sendiri dan juga oleh mata Tuhan yang tak nampak namun ada dimana-mana. Agama juga memberikan kekuatan dan tujuan akan kebaikan terhadap sesama.
Orang-orang yang diajarkan tentang moralitas melalui medium agama percaya bahwa tidak ada motif lain dari melakukan apa yang benar selain dari menghindarkan diri dari hukuman Tuhan: jika tidak ada Tuhan maka tidak ada yang dilarang. Namun ini pernyataan konyol. (Silakan Anda menyupir kendaraan di sebelah kanan di Indonesia.)
Salah satu argumen yang disukai saat ini dari pendukung agama, adalah bahwa agama adalah necessary bagi perilaku yang baik dan keharmonisan sosial. Matinya agama disalahkan sebagai penyebab dari perceraian keluarga, kejahatan dll. Mereka tidak menyadari bahwa moralitas diinginkan dan dihargai karena moralitas itu sendiri. Agama direkomendasikan karena mendukung moralitas, bukan moralitas yang diturunkan dari agama.
Mereka yang tidak percaya pada agama sebaliknya berupaya menurunkan moral feelings dengan alasan. Argumen yang sering muncul adalah seseorang harus melakukan sesuatu yang benar karena jika tidak orang lain juga tidak. Argumen ini menunjukkan kebingungan. Karena akhirnya adalah “semua tergantung pada Anda”. Contoh dari hal ini adalah pemilu. Seringkali bahwa sebuah vote itu decisive sehingga cukup beralasan buat saya untuk datang dan memilih. Namun jika saya adalah seorang konstituen di antara banyak orang, mengapa saya haru memilih? Suara saya tidak akan mempengaruhi apa pun. Dan kemudian orang akan berkata, wah jika semua orang begitu, maka demokrasi akan collapse. Betul, namun saya bukan semua orang, saya hanyalah saya. Orang lain akan membawa kepentingan saya tanpa saya. Poin-nya adalah semua orang semestinya merasa bahwa ini adalah tugas kita untuk memilih, namun seseorang tidak dapat dibujuk dengan alasan. Dia harus berpikir bahwa suatu hal benar untuk dilakukan karena itu benar untuk dilakukan.
Sistem yang lebih sophisticated mencoba mencari moralitas dari kecenderungan tentang arah evolusi. Tapi ini tidak meyakinkan. Kalau saya mengatakan “biarlah evolusi terjadi, namun saya akan melakukan apa yang saya sukai”, bagaimana Anda akan menjawan saya kecuali dengan menunjukkan sense of duty? Sense of duty bisa diturunkan dari sebuah sistem, namun jika sense of duty ini diajarkan sehingga orang memiliki pengetahuan tentangnya, maka tidak perlu ada sebuah teori.
Inti dari semua argumen di atas adalah moralitas tidak diturunkan melalui teologi atau dari sebuah alasan. Jika ini diterima, maka pertanyaan selanjutnya adalah tentang apa isi dari moral feelings ini. Semua sistem etika filosofis adalah upaya untuk memberikan alasan bagi moral feelings; ini bukanlah fakta bahwa kita memiliki perasaan tersebut; namun pada apa, sebuah perilaku didasarkan.
Sebuah sistem ekonomi membutuhkan sejumlah aturan, sebuah ideologi yang menjustifikasinya dan sebuah kesadaran dalam individu yang membuatnya bertahan. Poin-nya adalah kita membuat moral judgment dalam moral system. Organisasi mafia misalnya, kita sukai karena kedisiplinan mereka atau salah seorang mafia kita sukai karena dia dermawan. Namun kita tidak approve mafia menjadi sebuah economic system.
Orang yang berpikiran dangkal percaya bahwa dia tahu perbedaan antara benar dan salah dan kesadarannya adalah satu-satunya pijakan (misalnya, agama). Orang yang lebih sophisticated memahami banyaknya sistem etika, dan mengambil pandangan relatif terhadap pertanyaan-pertanyaan moral. Namun semuanya sama, dalam relativism kita percaya pada certain absolutes. Ada certain basic ethical feelings yang kita semua rasakan. Misalnya, kita semua menyukai kindness to cruelty.
Gunnar Myrdal terlalu jauh mengatakan bahwa “konsep kita sangat value-loaded” dan “tidak dapat didefinisikan kecuali in terms of political valuation”. Contoh: bigger = better; equal = equitable; goods = good; disekuilibrium = ketidaknyamanan dll. Betul bahwa dengan mengambil sistem ekonomi apa adanya, kita dapat mendeskripsikan hal-hal teknis secara objektif. Namun bukan tidak mungkin untuk mendeskripsikan sebuat sistem tanpa adanya moral judgment.
Intinya adalah perbedaan imply pilihan; pilihan imply judgment. Kita tidak bisa menghindar dari membuat judgment karena judgment sudah ada di kepala kita dan meresap dalam hidup. Konflik antara ekonomi dan piety (kebaikan) tidak hanya disebutkan dalam Gospel, namun juga oleh Dr. Johnson. Namun Keynes menunjukkan bahwa kemewahan yang orang kaya berikan dalam bentuk pekerjaan kepada si miskin adalah nyata. Namun ada yang berpendapat bahwa Anda tidak dapat membelanjakan uang untuk barang mewah tanpa melakukan hal baik bagi si miskin. Tidak demikian. Sebenarnya si kaya melakukan hal lebih baik dengan membeli barang mewah daripada memberikannya. Karena, dengan membeli barang mewah dia membuat orang miskin bekerja di industri; sedangkan jika si kaya memberikannya, maka dia membuat si miskin tetap menganggur. Namun, memang ada kebaikan dengan memberikannya secara langsung dalam bentuk donasi daripada membelanjakan uang untuk barang mewah meski ketika melakukannya pasti ada rasa kebanggaan juga. Jadi, ini pilihan, apakah si miskin industrious poor atau idle poor? Pay money or give money?
Catat bahwa orang bisa virtuous and sociable without self-denial. Namun sebaliknya, private vices (mementingkan diri sendiri misalnya) adalah public benefits, karena tanpanya tidak ada masyarakat yang dapat makmur atau berkembang.
Schumpeter juga menunjukkan adanya perbedaan antara tentara/politisi/diplomat dengan kaum burjois/pedagang/industrialis. Yang pertama sering mengatakan bahwa yang kedua rationalist dan tidak heroik. Precisely, tujuan mencari laba adalah yang merusak prestis dari kaum pebisnis. Karena ketika kekayaan mampu membeli segala bentuk penghormatan, dia tidak akan pernah mendapatkan penghormatan ini secara cuma-cuma.


Ilmu Ekonomi vs. Teologi
Ilmu ekonomi bukan hanya cabang dari teologi. Ekonomi berusaha keluar dari sentimen-sentimen dan berusaha memperolaeh status sebagai sebuah sains. Kita melihat tadi bagaimana proposisi metafisik bukan hanya mengekspresikan moral feelings, namun juga menyediakan hipotesis.
Metode ilmiah sama halnya seperti seekor gajah – ia exists, dapat dideskripsikan, namun tidak dapat didefinisikan. Pandangan umum mengenai asal generalisasi ilmiah mengatakan bahwa generalisasi ilmiah dilahirkan dari proses induksi melalui pengamatan kejadian-kejadian. Ketika seorang bertanya, mengapa kamu percaya bahwa matahari akan terbit esok? Jawabannya tentu saja bukan atas dasar induksi perilaku lalu. Dalam hal ini kita percaya ada teori tentang pergerakan planet yang mana prosesnya tidak diharapkan untuk berhenti keesokan harinya. Proses sains, menurut Professor Popper, adalah proses yang mencoba untuk disprove theories. Tubuh sains terdiri dari teori-teori yang belum di-disproved (gagal untuk dibuktikan).
Kesulitan besar pada ilmu sosial dalam menerapkan metode ilmiah adalah tidak adanya standar penolakan dari sebuah hipotesis yang disepakati. Tanpa adanya controlled experiment, kita hanya bersandar pada interpretasi terhadap bukti, dan interpretasi melibatkan judgment; sehingga kita tidak akan pernah mendapatkan a knock-down answer. Namun karena ekonomi selalu melibatkan moral feelings, maka judgment diwarnai dengan prejudice.
Jalan keluar dari masalah ini bukan dengan menutup prejudice dan mendekati permasalahan dengan purely objective mind. Objektivitas dari sains muncul bukan karena individual is impartial (individu tidak memiliki peran), namun karena banyak orang secara kontinu menguji teori satu sama lain. Jadi, untuk menghindarkan diri dari cross-purposes, ekonom akan mengeskpresikan teorinya dalam bentuk apakah teori ini dapat diuji, yaitu ditolak (atau dibenarkan), melalui pengalaman.
Professor Popper keliru ketika mengatakan bahwa ilmu pasti tidak lebih baik daripada ilmu sosial. Pertama, ilmu sosial selain memuat banyak muatan politis dan ideologis, juga menyebabkan beberapa orang sangat loyal kepadanya. Kedua, karena appeal kepada public experience tidak dapat decisive, seperti layaknya hasil laboratorium dimana seseorang dapat mengulang pengujian yang dilakukan orang lain berkali-kali dalam sebuah eksperimen yang terkontrol, ahli ilmu sosial selalu ditinggalkan dengan sebuah loophole untuk escape melalui “konsekuensi yang dihasilkan dari penyebab yang saya analisis memang berlawanan dari apa yang saya prediksi, namun ini mungkin sekali terjadi jika penyebab tersebut tidak ada”.
Kebutuhan untuk menyandarkan diri pada judgment memiliki konsekuensi yang lain. Kadang ekonom sering dikatakan queasy (sick) dan ill-natured dibandingkan dengan ilmuwan lain. Alasannya, ketika personal judgment penulis terlibat di dalam argumen, ketidaksetujuan merupakan penghinaan. Adam Smith menggambarkan perbedaan antara pembuat puisi dan matematikawan. Pembuat puisi senang ketika dipuji oleh rekan-rekannya dan sering tersinggung ketika karyanya tidak diterima atau dikritik. Matematikawan sebaliknya. Mereka punya the most perfect assurance baik pada kebenaran maupun pada pentingnya penemuan mereka. Namun seringkali merasa indifferent tentang penerimaan orang lain. Kebahagiaan mereka terletak ketika pekerjaannya disetujui, tanpa terlalu merasa marah ketika pekerjaan ini diabaikan.
Ekonom tidak seburuk pembuat puisi. Kurang adanya sebuah metode yang disetujui dan diterima untuk mengurangi errors introduces elemen personal untuk masuk dalam kontroversi ekonomi yang merupakan masalah di atas semua itu. Masalah personal adalah produk langsung dari kesulitan utama, yaitu ketika metode eksperimental kurang tersedia, dan ekonom tidak dipaksa secara tegas untuk mengurangi konsep metafisik untuk istilah-istilah yang dapat disalahartikan. Jadi ekonom pincang dengan satu kaki berdiri di atas untested hypothesis dan kaki lain berpijak pada untestable slogans. Di sinilah tugas kita untuk menyeleksi sebagik yang dapat dita lakukan dalam campuran antara ideologi dan sains. Kita pasti tidak akan mendapatkan jawaban yang rapi atas pertanyaan-pertanyaan yang ekonom munculkan. Karakteristik utama dari sebuah ideologi yang mendominasi masyarakat kita saat ini adalah puncak dari kebingungan ini. Untuk memahaminya berarti hanya perlu dengan mengungkap kontradiksinya.

Reference: Economic Philosophy by Joan Robinson

Tipe Dasar dan Tools Model Makroekonomi

Review Macroeconomics Advance:
========================

I. Tipe Dasar Model Makroekonomi:
============================
1). Model dengan atau tanpa micro foundation (landasan mikro ekonomi)
*Dengan micro foundation: Teori konsumsi dengan optimisasi pilihan leisure vs konsumsi barang (bersifat trade-off) Leisure(+) --> Konsumsi barang (-) Leisure(-) --> Konsumsi barang (+)
*Tanpa micro foudation: IS-LM --> c = c (y-t)

2). Model dengan atau tanpa market clearing
*Dengan market clearing: Supply sama dengan Demand
*Tanpa market clearing: Supply tidak sama dengan Demand

3). Model dengan atau tanpa policy neutrality
* Dengan policy neutrality (Classical model): dy/dM= 0
* Tanpa policy neutrality (Keynes model): dy/dM > 0

4). Model dengan atau tanpa rational expectation (Ratex)
* Dengan ratex: penyusunan instrumen yang tersedian hari ini untuk memprediksi variabel di t+1. Misal: Ekpektasi pada hari ini tentang suku bunga dimasa depan dibuat berdasarkan seluruh informasi yang tersedia. Pendekatan ini juga biasaya disebut forward-looking model.
* Tanpa ratex: mengunakan pendekatan adaptive expectation atau disebut juga pendekatan backward-looking model.

5). Model dengan atau tanpa stokastik element
* Dengan stokastik element: Individu hidup didua periode (periode 1 dan 2), sehingga perlu konsumsi barang dan jasa untuk 2 periode.- utilitas periode 1 (certaint);- periode berikutnya ada ekspektasi tetapi tergantung pada moment pada periode 2;- ekspektasi dibuat pada saat ini (periode 1);- konstrain: jika punya wealth pada periode 1 untuk konsumsi (C) dan tabungan (S);- periode 2 (periode terakhir): tidak ada tabungan (S) tetapi ada penghasilan dari tabungan periode 1, sehingga pada periode 2 konsumsi (C) lebih besar.
* Tanpa stokastik element: model deterministik (semua pasti): max U (c1) + b.U(C2).

6). Model dengan model static atau model dynamic.
*Model static: hanya 1 periode .
*Model dynamic: lebih dari 2 periode.


II. Tools untuk Mempelajari Model-Model Makro
===================================
1). Linear equation system: untuk ekonometrika sistem persamaan Keynes. Contoh Y = C + G (G (policy) bersifat exogenous, C,Y bersifat endogenous)

2). Linearization: first order Taylor Expansion. misal: y = f(K). Linearkan y disektor K*.

3). Static optimization: tidak ada unsur waktu max. f(K,L)--wL--rK
First order condition (FOC)
---------------------------
* dF/dK = F'K- r = 0; F'K= r (MPK = r)
* dF/dK = F'K - w = 0; F'K = w (MPL = w)

4). Dynamic optimization: ada unsur waktu (t, t+1, t+2, t+3, ....)
a. Data descrete (disebut dynamic programming menggunakan sum)
b. Data Continum (disebut Optimal Control menggunakan integral)

Reference dari berbagai sumber macroeconomics

Ciri-Ciri Umum Model Ekonomi

Review Microeconomics
CIRI-CIRI UMUM MODEL EKONOMI

Model-model ekonomi saat ini dipergunakan tentu saja sangat beragam. Asumsi spesifik yang dipergunakan dan tingkat perincian yang disediakan sangat bervariasi bergantung pada masalah yang ditangani. Jenis-jenis model yang dipergunakan untuk menerangka tingkat kegiatan perekonomian secara keseluruhan di Amerika Serikat, misalnya harus lebih menyeluruh dan lebih kompleks dibadingkan dengan model yang berusaha mengintepretasikan penetapan harga buah strawberry dari Arizona. Tetapi, meskipun terdapat keragaman ini, praktis semua model ekonomi mengandung tiga unsur yang sama: (1) Cateris Paribus (segala hal lainnya sama); (2) Anggapan bahwa para pengambil keputusan ekonomi berusaha untuk mengoptimalkan sesuatu; (3) Pembedaan yang seksama antara pertanyaan "positif" dan pertanyaan "normatif".


* Asumsi CATERIS PARIBUS
Seperti dalam kasus kebanyaka ilmu pengetahuan, model-model yang dipergunakan dalam perekonomian berusaha untuk menggambarkan hubungan-hubungan yang relatif sederhana. Sebuah pasar gandum, misalnya, kemungkinan berusaha untuk menerangkan harga gandum dengan sejumlah kecil variabel yang dapat dikuantifikasi, seperti upah para pekerja pertanian, curah hujan, dan pendapatan konsumsi. Meminimumkan spesifikasi model seperti ini memungkinkan studi tentang penetapan harga gandum dalam situasi yang disederhanakan, sehingga dapat dipahami bagaimana kekuatan-kekuatan tertentu beroperasi. Meskipun setiap peneliti akan menyadari bahwa kekuatan "luar" (adanya hama gandum, perubahan harga pupuk dan harga traktor, atau pergeseran dalam sikap konsumen terhadap roti) mempengaruhi harga gandum, kekuatan-kekuatan lain ini dipertahankan konstan dalam pengembangan model. Ini adalah maksud penerapan asumsi Cateris Paribus. Penting untuk diketahui bahwa para ekonom tidak mengasumsikan bahwa faktor-faktor lain tidak mempengaruhi harga gandum, melainkan variabel-variabel tersebut diasumsikan tidak berubah selama periode penelitian. Dengan cara ini, pengaruh beberapa kekuatan dapat diteliti dalam situasi yang disederhanakan. Asumsi Cateris Paribus seperti ini dipergunakan dalam semua pemodelan ekonomi.Penggunaan asumsi Cateris Paribus menghadirkan beberapa kesulitan untuk verifikasi empiris model-model ekonomi dengan data dunia nyata. Dalam ilmu lainnya, masalah tersebut tidak terlalu berat, karena lingkungan dapat dikendalikan. Misalnya, seorang ahli fisika yang ingin menguji sebuah model tentang kekuatan gravitasi kemungkinan tidak akan melakukannya dengan menjatuhkan obyek dari Empire State Building (gedung di US). Eksperimen yang dilakukan dengan cara demikian akan dipengaruhi oleh terlalu banyak kekuatan luar (kecepatan angin, partikel-partikel udara, variasi temperatur, dan sebagainya) untuk menguji teori tersebut secara tepat. Ahli fisika tersebut kemungkinan harus melakukan eksperimen di sebuah laboratorium, dengan sebuah ruang yang setengah hampa dimana kebanyakan kekuatan-kekuatan lain tersebut dapat dikendalikan ataua dihapuskan. Dengan cara ini, teori tersebut dapat diverifikasi dalam situasi yang sederhana, tanpa perlu mempertimbangkan semua kekuatan lainnya yang mempengaruhi benda yang jatuh di dunia nyata.Dengan sedikit kekecualian, para ekonom belum dapat melakukan eksperimen yang terkendali untuk menguji model-model mereka. Melainkan para ekonom dipaksa untuk bergantung pada berbagai metode statistik (dan ekonometrik) untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan lain ketika menguji teori-teori mereka. Sekalipun metode-metode statistik ini pada prinsipnya memiliki keabsahan yang sama dengan metode-metode eksperimen terkendali yang dipergunakan oleh para ilmuwan lainnya, pada prakteknya metode-metode ini menghadirkan sejumlah masalah sulit. Karena alasan itu, batasan dan makna yang tepat dalam asumsi Cateris Paribus dalam ekonomi menimbulkan lebih banyak kontroversi daripada dalam ilmu-ilmu laboratorium.


*Asumsi Optimisasi
Banyak model ekonomi dimulai dari asumsi bahwa para pelaku ekonomi yang diteliti secara rasional mengejar sasaran tertentu. Meskipun, banyak asumsi berkaitan dengan optimisasi agak bersifat kontroversial, semua telah diterima secara luas sebagai titik awal yang baik untuk mengembangkan model-model ekonomi. Terdapat dua alasan untuk penerimaan ini: Pertama, asumsi optimisasi sangat produktif dalam hal menghasilkan model-model yang tepat dan yang dapat dipecahkan. Hal ini terutama dihasilkan kemampuan model-model tersebut untuk memanfaatkan berbagai teknis matematis yang sesuai dengan masalah optimisasi, yang tidak akan tersedia tanpa menggunakan teknis matematis tersebut. Kedua, popularitas model optimisasi berkaitan dengan validitas empiris yang jelas. Seperti diperlihatkan oleh beberapa penerapan, model-model tersebut tampak cukup baik dalam menerangkan kenyataan. Dengan semua ini, maka model optimisasi telah menempati posisi penting dalam teori ekonomi modern.


*Perbedaan Positif-Normatif
Ciri terakhir yang menjadi inti dalam kebanyakan model ekonomi adalah usaha untuk dengan seksama membedakan pertanyaan "positif" dan pertanyaan "normatif". Sejauh ini, baru membicarakan terutama peran teori-teori ekonomi yang positif. Teori-teori "ilmiah" seperti ini memadang dunia nyataa sebagai obyek yang harus dipelajari, dengan berusaha untuk menerangkan fenomena ekonomi yang diamati. Ekonomi positif berusaha menetapkan bagaimana sumberdaya pada kenyataannya dialokasikan dalam sebuah perekonomian. Analisis teori ekonomi yang agak berbeda adalah normatif, yang mengambil posisi moral yang pasti tentang apa yang harus dilakukan. Dalam analisis normatif, para ekonom memiliki banyak hal yang dapat dikatakan tentang bagaimana sumber daya harus dialokasikan. Misalnya, seorang ekonom yang terlibat dakam analisis positif kemungkinan meneliti mengapa dan bagaimana industri pemeliharaan kesehatan Amerika menggunakan sejumlah modal, tenaga kerja, dan tanah saat ini ditujukkan untuk menyediakan jasa-jasa medis. Ekonom tersebut kemungkinan memilih untuk mengukur biaya dan manfaat lebih banyak lagi sumber daya untuk pemeliharaan kesehatan. Tetapi ketika para ahli menyarankan bahwa sumberdaya tamabahan harus dialokasikan untuk kesehatan, mereka secara implisit bergerak ke analisis normatif. Jika para ahli tersebut menerapkan hipotesis maksimisasi laba karena model tersebut tampaknya menerangkan kenyataan, mereka terlibat dalam analisis positif. Tetapi para ekonom yang berargumentasi bahwa perusahaan-perusahaan harus memaksimumkan laba (dan bukan mengejar barang "sosial" lainnya, misalnya) mengambil posisi normatif.Beberapa ekonom percaya bahwa satu-satunya analisis ekonomi yang sesuai adalah analisis positif. Dengan menarik analogi dari ilmu alam, mereka berargumentasi bahwa "ekonomi" ilmiah harus memperhatikan deskripsi (kemungkinan prediksi) tentang kejadian-kejadian dunia nyata. Untuk mengambil posisi moral tertentu dan mendorong minat tertentu dipandang di luar kompetensi seorang ekonom yang bertindak sebagai ekonom. Tetapi, beberapa ekonom lainnya percaya bahwa penerapan yang ketat dari pembedaan positif-normatif untuk masalah-masalah ekonomi tidak sesuai, karena masalah-masalah tersebut harus melibatkan padangan peneliti itu sendiri tentang etika, moralitas dan keadilan. Menurut para ekonom ini, mencari "obyektivitas" ilmiah dalam situasi seperti ini tidak mungkin.

Reference: Microeconomics Theory Basic Principle and Extentions by Walter Nicholson

Teori Ekonomi Tentang Nilai (Paradoks Air-Berlian)

Review Microeconomics Advance
Perkembangan Teori Ekonomi Tentang Nilai (Paradoks Air-Berlian)

Teori nilai, berkaitan dengan faktor-faktor menentukan "nilai" sebuah komoditas. Studi tentang subjek ini adalah teori mikroekonomi modern dan sangat erat berkaitan dengan subjek alokasi sumberdaya yang langka untuk tujuan-tujuan alternatif. Awal yang logis untuk memulai pembahasan ini adalah defenisi kata nilai. Sayangnya, arti istilah ini tidak konsisten di sepanjang perkembangannya. Saat ini, kita memandang "nilai" sebagai sinonim untuk "harga" sebuah komoditas. Namun, para ekonom filsuf yang lebih awal membuat perbedaan diantara harga pasar sebuah komoditas dengan nilainya. Istilah "nilai" dalam arti tertentu dipandang sebagai sinonim dengan "kepentingan","hakekat", atau (kadang-kadang) "kemuliaan". Karena "harga" dan "nilai" merupakan konsep yang terpisah, keduanya berbeda, dan kebanyakan pembahasan ekonomi awal terpusat pada perbedaan ini.


*Harga Yang Adil
St. Thomas Aquinas percaya bahwa nilai ditetapkan secara ilahi. Karena harga ditetapkan oleh manusia, harga sebuah komoditas mungkin berbeda dengan nilainnya. Seseorang yang dituduh menetapkan harga yang berlebihan untuk nilai sebuah barang dinyatakan bersalah dalam menetapkan harga yang "tidak adil". Misalnya, St.Aquinas percaya bahwa suku bunga yang "adil" adalah 0. Setiap peminjaman uang yang menuntut pembayaran untuk penggunaan uang dinyatakan mengenakan harga yang tidak adil dan dapat--dan seringkali dikenakan hukuman oleh rohaniawan.


*Paradoks Air-Berlian
Para ekonom ilmiah yang awal, seperti Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823), terus membedakan nilai dengan harga. Bagi Smith misalnya, nilai sebuah komoditas berarti "nilainya dalam penggunaan," sementara harga mewakili "nilainya dalam pertukaran." Perbedaan di antara kedua konsep ini diilustrasikan dengan paradoks air-berlian yang terkenal. Air, yang jelas memiliki nilai tinggi dalam penggunaan, memiliki nilai yang rendah dalam pertukaran (harganya rendah); berlian memiliki kegunaan praktis yang rendah tetapi memiliki nilai tinggi dalam pertukaran. Paradoks yang diperdebatkan oleh para ekonom awal ini berasal dari observasu bahwa beberapa barang yang sangat "berguna" memiliki nilai rendah, sementara beberapa barang yang "tidak penting" memiliki harga tinggi.
Teori Tenaga Kerja Tentang Nilai PertukaranBaik Smith maupun Ricardo tidak dapat menyelesaikan paradoks air-berlian dengan memuaskan. Konsep nilai dalam penggunaan diserahkan kepada para filsuf untuk diperdebatkan, sementara para ekonom mengalihkan perhatian mereka pada usaha untuk menjelaskan faktor-faktor penentu nilai dalam pertukaran (yaitu, menjelaskan harga relatif). Jelas salah satu kerangan yang mungkin adalah bahwa nilai pertukaran barang ditetap oleh biaya untuk memproduksi barang tersebut. Biaya produksi terutama dipengaruhi oleh biaya tenaga kerja--setidaknya hal ini berlaku pada jaman Smith dan Ricardo--dan karena itu, teori tenaga kerja tentang nilai segera dikembangkan. Misalnya, dengan mengutip contoh dari Smith, jika mematikan seekor rusa memerlukan jumlah jam kerja tenaga kerja dua kali lebih besar daripada mematikan seekor berang-berang, maka seekor rusa harus dipertukarkan dengan dua berang-berang. Demikian pula, berlian relatif lebih mahal produksinya memerlukan masukan tenaga kerja yang lebih besar.Tetapi bagaimana penjelasan tentang nilai pertukaran tersebut di atas dapat diterapkan untuk sumberdaya produktif lainnya? Bagaimana pembayaran sewa dan peralatan model dimasukan dalam penetapan harga? Ricardo menjawab masalah ini dengan analisis yang cerdik. Ia berargumentasi bahwa biaya penggunaan modal dapat dipandang juga sebagai biaya tenaga kerja, dalam bentuk tenaga kerja yang diinvestasikan beberapa tahun yang lalu ketika mesin tersebut diproduksi. Dengana cara ini, setiap biaya modal akhirdnya dapat ditelusir kembali ke masukan tenaga kerja yang utama. Ricardo menyingkirkan biaya sewa dengan mengajukan teori bahwa sewa bukan merupakan fakto penentu nilai. Karena itu, kita menerima teori tenaga kerja tentang nilai yang murni: harga relatif dua komoditas ditentukan oleh masukan tenaga kerja langsung dan tidak langsung dipergunakan oleh masing-masing barang.Bagi para mahasiswa yang baru sedikit mengenal apa yang sekarang kita sebut sebagai hukum permintaan dan penawaran sekilipun, penjelasan Ricardo di atas pasti tampak aneh. Apakah ia tidka menyadari pengaruh permintaan terhadap harga? Jawaban atas pertanyaan ini ialah "ya" dan "tidak". Ia mengamati adanya periode-periode dimana harga meningkat dan merosot dengan cepat dan menyatakan bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh pergeseran permintaan. Tetapi, ia memandang perubahan tersebut sebagai kejadian-kejadian yang tidak normal yang dihasilkan oleh peredaan yang sementara antara harga pasar dengan nilai tenaga kerja. Karena ia tidak benar-benar menyelesasikan paradoks nilai dalam penggunaan, ia tidak mau, atau tidak mampu memberikan peran yang lebih dari sekedar peran sementara bagi permintaan dalam menetapkan harga pertukaran. Sebaliknya, Ricardo percaya bahwa nilai pertukaran jangka panjang semayta-mata ditetapkan oleh biaya tenaga kerja dalam produksi.


*Revolusi Marginal: Nilai dalam Penggunaan Dipertimbangkan Kembali
Antara tahun 1850 sampai 1880, para ekonom semakin menyadari bahwa untuk mengembangkan sebuah alternatif yang memadai disamping teori Ricardo tentang nilai, mereka harus menangani paradoks nilai dalam penggunaan. Selama dekade 1870-an, beberapa ekonom mengajukan bahwa bukan kegunaan total sebuah komoditas yang membantu menetapkan nilai pertukaran barang tersebut, melainkan kegunaan unit terakhir yang dikonsumsi. Misalnya, air jelas sangat berguna--air diperlukan untuk semua kehidupan. Namun, karena air relatif banyak, menggunakan setengah liter air tambahan (cateris paribus) secara relatif memiliki nilai yang rendah bagi masyarakat. "Kaum marginalis" ini mendefinisikan kembali konsep nilai dalam penggunaan dari sebuah gagasan tentang kegunaan keseluruhan dibandingkan satu kegunaan marginal, atau tambahan--kegunaan satu unit tambahan dari sebuah komoditas. Konsep permintaan untuk satu keluaran tambahan ini sekarang akan dipandingkan dengan analisis Ricardo tentang biaya produksi untuk menghasilkan gambaran yang menyeluruh tentang penetapan harga.


*Sintesis Permintaan-Penawaran Marshall
Pernyataan paling jelas tentang prinsip-prinsip marginal disajikan oleh ekonom Inggris Alfred Marshall (1842-1924) dalam bukunya Principle Economics, yang diterbitkan pada tahun 1890. Marshall menunjukkan bahwa permintaan dan penawaran secara bersamaan (simultan) beroprasi menetapkan harga. Seperti dicatat oleh Marshall, seperti anda tidak dapat menyatakan sisi gunting yang mana yang melakukan pemotongan, anda tidak dapat mengatakan apakah penawaran atau permintaan yang menetapkan harga. Analisis ini diilustrasikan dengan diagram silang Marshall (Diagram silang penawaran-permintaan Marshall).Marshall berteori bahwa permintaan dan penawaran berinteraksi untuk menetapkan harga ekuilibrium (P*) dan jumlah (Q*) yang diperdagangkan dipasar. Ia menyimpulkan bahwa tidak mungkin dikatakan bahwa baik permintaan maupun penawaran itu sendiri yang menetapkan harga, atau biaya atau kegunaan bagi pembeli itu sendiri yang menetapkan nilai pertukaran.


*Paradoks Air-Berlian Diselesaikan
Model Marshall menyelesaikan paradoks air-berlian. Harga mencerminkan evaluasi marginal yang diberikan oleh mereka yang memerlukan barang dan biaya marginal dalam memproduksi barang tersebut. Dipadangan dengan cara ini, tidak ada paradoks. Air memiliki harga yang rendah, karena air memiliki nilai marginal yang rendah dan biaya produksi marginal yang rendah pula. Sebaliknya, berlian memiliki harga tinggi, karena memiliki nilai marginal yang tinggi (karena relatif langka) dan biaya produksi marginal yang tinggi pula. Model dasar permintaan dan penawaran ini mendasari banyak analisis ekonomi.


*Model Ekuilibrium Umum
Meskipun model Marshal merupakan alat yang sangat bergunan dan luwes, namun model ini merupakan model ekuilibrium parsial (keseimbangan parsial), yang hanya melihat pada satu pasar pada setiap saat. Untuk beberapa masalah, penyempitan sudut pandangan dapat memberikan pendalaman yang berharga dan kesederhanaan analisis. Untuk masalah-masalah lain yang luas, sudut pandang yang sempit ini kemungkinan menghalangi ditemukannya saling ketergantungan yang penting. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih umum, kita harus memiliki sebuah model untuk keseluruhan perekonomian yang cukup mencerminkan sifat ketergantungan diantara bergaia pasar dan berbagai pelaku ekonomi. Seorang ekonom Perancis, Leon Walras (1831-1910), yang mengembangkan tradisi kontinental yang panjang untuk analisis seperti ini, menciptakan dasar untuk penelitian modern tentang masalah luas ini. Metodenya dengan merepresentasikan perekonomian dengan sejumlah besar persamaan yang bersamaan membentuk dasar bagi pemahaman ketergantungan yang implisit dalam analisis ekulibrium umum (keseimbangan umum). Walras menyadari bahwa kita tidak dapat membicarakan sebuah pasar secara terpisah; yang diperlukan adalah sebuah model yang memungkinkan pengaruh-pengaruh sebuah perubahan dalam satu pasar yang diikuti oleh pasar-pasar lainnya.Misalnya, anggaplah harga gandum akan meningkat. Analisis Marshall akan berusaha memahami alasan ini dengan melihat kondisi penawaran dan permintaan di pasar gandum. Analisis ekuilibrium umum akan melihat tidak hanya pada pasar gandum, tetapi juga pada gema kenaikan gandum di pasar-pasar lainnya. Kenaikan harga gandum akan meningkatkan biaya pabrik roti, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kurva penawaran untuk roti. Demikian pula, kenaikan harga gandum kemungkinan berarti harga tanah lebih tinggi bagi para pemilik tanah, yang akan mempengaruhi kurva penawaran untuk semua produk yang dibeli pemilik tanah tersebut. Kurva permintaan untuk mobil, perabotan, dan perjalanan ke Eropa dari pemilik tanah tersebut akan bergeser, dan hal terseut akan memberikan pednapatan tambahan bagi mereka yang menyediakan produk-produk tersebut. Akibatnya, pengaruh kenaikan awal dalam permintaan atas gandum, akhirnya akn menyebar ke seluruh perekonomian. Analisis ekulibrium umum berusaha untuk mengembangkan model-model yang memungkinan kita untuk meneliti pengaruh tersebut dalam situasi yang disederhanakan.


*Batas Kemungkinan Produksi
Secara singkat kita memperkenalkan model ekuilibrium umm dengan menggunakan sebuah grafik--batas kemungkinan produksi. Grafik ini memperlihatkan berbagai jumlah dari dua barang yang dapat diproduksi oleh sebuah perekonomian dalam periode yang sama. Karena batas kemungkinan produksi memperlihatkan dua barang, bukan satu barang seperti dalam model Marshall, maka batas ini dipergunakan sebagai dasar untuk model ekulibrium umum. Model batas kemungkinan produksi memberikan dua ekuilibrium umum yang tidak jelas dalam model penawaran dan permintaan Marshall untuk satu pasar. Hasil pertama, adalah bahwa memproduksi satu barang tambahan berarti mengurangi produksi barang lainnya karena kelangkaan sumberdaya. Para ekonom sering kali (kemungkinan terlalu sering) menggunakan pernyataan "no free lunch" untuk menerangkan bahwa setiap tindakan ekonomi memiliki biaya kesempatan. Hasil kedua, yang diperlihatkan dalam batas kemungkinan produksi adalah bahwa biaya kesempatan ini bergantung pada berapa jumlah yang diproduksi untuk setiap barang. Batas ini seperti kurva penawaran untuk dua barang--memperlihatkan biaya kesempatan dalam meningkatakan produksi salah satu barang sebagai penurunan jumlah produksi barang kedua. Karena itu, batas kemungkinan produksi merupakan alat yang berguna, terutama untuk meneliti beberapa pasar secara simultan.


*Ekonomi Kesejahteraan
Disamping penggunaannya untuk meneliti pertanyaan positif tentang bagaimana perekonomian beroperasi, alat-alat yang dipergunakan dalam analisis ekuilibrium umum juga diterapkan dalam mempelajari pertanyaan-pertanyaan normatif tentang keinginan sosial terhadap berbagai pengaturan ekonomi. Meskipun pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan fokus utama bagi banyak ekonom besar selama abad delapan belas dan sembilan belas (Smith, Ricardo, Marx, Marshall dan sebagainya), kemungkinan kemajuan yang juga paling berarti dalam studi ini dilakukan oleh ekonom Inggris Francis Y. Edgeworth (1848-1926) dan ekonom Italia Vilfredo Pareto (1848-1923) dalam awal abad dua puluh. Kedua ekonom ini membantu memberikan definsi yang tepat untuk konsep "efisiensi ekonomi" dan memperlihatkan kondisi-kondisi dimana pasar mampu mencapai sasaran tersebut. Dengan menjelaskan hubungan antara alokasi sumberdaya dan penetapan harga sumberdaya, mereka memberikan beberapa dukungan untuk gagasan, yang pertama-tama dinyatakan oleh Adam Smith, bahwa pasar yang berfungsi sebagai mana mestinya menyediakan sebuah "tangan yang tak terlihat" yang membantu mengalokasikan sumberdaya secara efisien.
Perkembangan TerakhirPerkembangan yang besar pertama, setelah Perang Dunia Kedua dalam teori mikroekonomi adalah klarifikasi dan formalisasi asumsi-asumsi dasar yang dibuat tentang individu dan perusahaan. Tonggak utama dalam perkembangan ini adalah diterbitkannya foundations of economic analysis oleh Paul Samuelson pada tahun 1947, (pemenang hadiah nobel pertama untuk ilmu ekonomi) meletakkan sejumlah model perilaku optimisasi. Samuelson menunjukkan pentingnya mendasari model optimisasi dengan dalil-dalil matematis yang dinyatakan dengan baik, sehingga berbagai teknik optimisasi dari matematika dapat diterapkan. Kekuatan pendekatannya ini tidak disangkal lagi membuat matematika sebagai bagian integral dari ilmu ekonomi modern.Kemajuan besar kedua, adalah perkembangan model ekuilibrium umum yang memungkinan penelitian secara bersamaan terhadap operasi berbagai pasar. Pada akhir dekade 1950-an, Gerard Debreu memperlihatkan bahwa gagasan teoritis tentang himpunan dapat dipergunakan untuk meneliti masalah ekuilibrium umum tentang harga pembersihan pasar dengan cara yang sangat ringkas dan sangat mudah dipecahkan. Kemudian, para ekonom seperti Kenneth Arrow dan Frank Hahn memperlihatkan bagaimana pendekatan ini dapat digeneralisasikan dalam berbagai cara untuk memungkinkan pemahama yang lebih penuh tentang bagaimana sejumlah besar pasar beroperasi untuk menetapkan alokasi sumberdaya keseluruhan. Kemajuan teoritis terakhir selama periode pascaperang adalah dimasukkannya ketidakpastian (uncertainty) dan informasi yang tidak sempurna (imperfect information) dalam model-model ekonomi. Beberapa asumsi dasar yang dipergunakan untuk meneliti perilaku dalam situasi yang tidak pasti pada awalnya dikembangkan pada tahun 1940-an dalam kaitannya dengan teori permainan (game theory dari John von Neummann dan Oscar Morgenstern). Perkembangan berikutnya memperlihatkan bagaimana gagasan-gagasan ini dapat dipergunakan untuk menerangkan mengapa para individu cenderung menolak resiko dan bagaimana mereka mengumpulkan informasi untuk mengurangi ketidakpastian yang mereka hadapi.

Reference: Microeconomics Theory Basic principles and extentions by Waltern Nicholson.

Bagaimana Ekonom Berpikir

Review: Macroeconomics Advance

BAGAIMANA EKONOM BERPIKIR


Meskipun para ekonom sering mempelajari isu-isu bermuatan politis, namun mereka berusaha mengarahkan isu-isu ini dengan obyektivitas seorang ilmuwan. Seperti ilmu pengetahuan lainnya, ekonomi memiliki perangkat sarananya sendiri--terminologi, data, dan cara berfikir--yang bisa kelihatan asing dan aneh bagi orang awam. Cara terbaik umtuk membiasakan diri dengan sarana ini adalah belajar menggunakannya.


* Teori Sebagai Pembangun Model
Anak-anak kecil belajar banyak tentang dunia di sekitar mereka dengan bermain dengan versi mainan dari obyek nyata. Seringkali mereka mengumpulkan berbagai model, misalnya mobil, kereta, atau pesawat terbang. Model-model ini jauh dari kenyataan, tetapi sang pembangun model itu justru belajar banyak dari beragaman mainan ini. Model itu menggambarkan esensi dari obyek nyata yang dirancang mirip dengan aslinya.Ekonom juga menggunakan model untuk memahami dunia, tetapi model seorang ekonom akan terbuat dari simbol dan persamaan matematis. Para ekonom membangun "mainan ekonomi" mereka untuk membantu menjelaskan variabel-variabel ekonomi, seperti GDP, inflasi dan tingkat pengangguran. Model-model ekonomi menggambarkan, sering dalam bentuk persamaan matematis, hubungan antarvariabel. Model-model ini begitu bermanfaat karena membantu kita untuk menghilangkan hal-hal yang tidak relevan dan memusatkan perhatian pada hubungan-hubungan yang penting secara lebih jelas.Model-model memiliki dua jenis variabel yaitu, variabel endogen dan variabel eksogen. Variabel endogen (endogenous variables) adalah variabel-variabel yang akan dijelaskan sebuah model. Variabel eksogen (eksogenous variables) adalah variabel-variabel yang nilainya ditentukan diluar model. Tujuan dari sebuah model adalah menunjukkan bagaimana variabel eksogen mempengaruhi variabel endogen. Dengan kata lain, variabel eksogen berasal dari luar model dan bertindak sebagai input model, sedangkan variabel endogen ditentukan di dalam model dan merupakan output model.Seni dalam ilmu ekonomi adalah dalam menilai apakah sebuah asumsi dapat menjelaskan dan apakah asumsi itu menyesatkan. Model apapun yang dikembangkan agar senyata mungkin akan menjadi terlalu rumit untuk dipahami setiap orang. Penyederhanaan merupakan bagian penting dari pengembangan model yang berguna. Namun, model-model itu mengarah pada kesimpulan yang salah jika mengabaikan ciri-ciri perekonomian yang penting bagi isu yang sedang diteliti. Karena itu, pembuatan model ekonomi membutuhkan perhatian dan akal sehat.


* Ragam Model
Para ekonom makro mempelajari banyak sisi dari perekonomian. Sebagai contoh, mereka mengkaji peran tabungan nasional dalam pertumbuhan ekonomi, dampak serikat pekerja terhadap pengangguran, pengaruh inflasi terhadap tingkat suku bunga, dan pengaruh kebijakan perdagangan terhadap neraca perdagangan serta kurs. Makroekonomi serumit perekonomian itu sendiri.Meskipun para ekonom menggunakan model untuk memecahkan seluruh persoalan ini, namun tidak ada model tunggal yang bisa menjawab semua pertanyaan. Seperti tukang kayu yang menggunakan beragam alat untuk pekerjaan yang berbeda, para ekonom menggunakan model-model yang berbeda untuk menjelaskan ekonomi yang berbeda. Karena itu, harus diingat bahwa TIDAK ADA SATU PUN MODEL TUNGGAL YANG "BENAR" YANG BERGUNA UNTUK SELURUH TUJUAN. Namun, ada begitu banyak model, yang masing-masing berguna untuk menjelaskan sisi perekonomian yang berbeda. Bidang makroekonomi adalah seperti pisau Swiss Army--seperangkat alat yang saling melengkapi tetapi berbeda, yang bisa digunakan dalam beragama cara pada situasi yang berbeda.Karena itu, banyak model berbeda yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berbeda dan yang membuat asumsi-asumsi yang berbeda. Ingatlah bahwa sebuah model hanyalah sebaik asumsi-asumsinya dan sebuah asumsi yang berguna untuk beberapa tujuan mungkin tidak tepat untuk tujuan lainnya. Ketika menggunakan model untuk menjawab pertanyaan, ekonom harus mengingat asumsi-asumsi yang mendasarinya, dan menilai apakah asumsi-asumsi itu layak untuk masalah yang
dihadapi.


*Harga: Fleksibel versus Kaku
Sekelompok asumsi akan memainkan peran penting--yaitu yang terkait dengan kecepatan penyesuaian upah dan harga. Para ekonom biasanya mengasumsikan bahwa harga barang dan jasa bergerak dengan cepat untuk menyeimbangkan jumlah yang ditawarkan dan jumlah yang diminta. Dengan kata lain, mereka mengasumsikan bahwa pasar bergerak ke arah keseimbangan penawaran dan permintaan. Asumsi ini disebut market clearing. Untuk menjawab sebagian besar pertanyaan, para ekonom menggunakan model-model market clearing.Namun, asumsi market clearing yang berkesinambungan tidak sepenuhnya realistis. Agar pasar menjadi clear secara berkesenimbungan, harga harus secara instan menyesuaikan diri terhadp perubahan penawaran dan permintaan. Namun, nyatanya banyak upah dan harga menyesuaikan diri dengan lambat. Kontrak tenaga kerja sering menetapkan upah hingga tiga tahun. Banyak perusahaan tidak mengubah harga produknya selama bertahun-tahun, misalnya penerbit majalah biasanya mengubah produknya setiap tiga atau empat tahun sekali. Meskipun model market clearing mengasumsikan seluruh upah dan hara adalah fleksibel, namun di dunia nyata sebagian upah dan harga adalah kaku/sulit berubah (sticky).Adanya kekauan harga tidak langsung membuat model market clearing kurang bermanfaat. Selain itu, harga tidak bersifat kaku selamanya; secara perlahan-lahan harga akan menyesuaikan diri terhadap perubahan penawaran dan permintaan. Model-model market clearing tidak menggambarkan perekonomian pada setiap waktu tertentu, tetapi menggambarkan bagaimana perekonomian secara lambat bergerak menuju keseimbangan. Karena itu, banyak ekonom makro percaya bahwa fleksibilitas harga adalah asumsi yang baik untuk mempelajari isu-isu jangka panjang, seperti pertumbuhan GDP riel yang kita amati dari dekade ke dekade.Untuk mempelajari isu-isu jangka pendek, seperti fluktuasi tahun ke tahun dalam GDP riel dan pengangguran, asumsi fleksibilitas harga kurang mengena. Selama periode jangka pendek, banyak harga bersifat tetap pada tingkat-tingkat yang ditetapkan sebelumnya. Karena itu, sebagian besar ekonom makro percaya bahwa kekuan harga merupakan asumsi yang lebih baik untuk mempelajari perilaku perekonomian dalam jangka pendek.


*Pemikiran Mikroekonomi dan Model-Model Makroekonomi
Mikroekonomi adalah studi tentang bagaimana rumah tangga dan perusahaan mengambil keputusan dan bagaimana para pengambil keputusan ini berinteraksi di pasar. Prinsip utama mikroekonomi adalah bahwa rumah tangga dan perusahaan berusaha mencapai optimalisasi--mereka melakukan hal yang terbaik yang bisa dilakukan untuk mereka sendiri berdasarkan tujuan dan hambatan yang mereka hadapi. Dalam model-model mikroekonomi, rumah tangga memilih pembeliannya untuk memaksimalkan tingkat kepuasan, yang disebut ekonom dengan utilitas (utility), dan perusahaan-perusahaan mengambil keputusan-keputusan produksi untuk memaksimalkan laba (profit) mereka.Karena peristiwa-peristiwa ekonomi muncul dari interaksi banyak rumah tangga dan banyak perusahaan, maka mikroekonomi dan makroekonomi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bila kita mempelajari perekonomian secara menyeluruh, kita harus mempertimbangkan keputusan-keputusan dari para pelaku ekonomi individu. Misalnya, untuk memahami apa yang menentukan pengeluaran konsumen total, kita harus memikirkan keluarha yang memutuskan berapa banyak uang yang harus dibelanjakan hari ini dan berapa yang harus ditabung untuk esok hari. Untuk memahami apa yang menentukan pengeluaran investasi total, kita harus memikirkan perusahaan yang memutuskan apakah akan membangun pabrik baru. Karena variabel-variabel agregat hanyalah merupakan jumlah dari variabel-variabel yang menggambarkan banyak keputusan individu, maka teori makroekonomi berdiri di atas pondasi mikroekonomi (microeconomic foundation). Karena, peristiwa-peristiwa makroekonomi muncul dari interaksi mikroekonomi, para ekonom makro menggunakan banyak sarana mikroekonomi.Meskipun keputusan-keputuasan mikroekonomi selalu melandasi model-model ekonomi, namun banyak model perilaku optimalisasi rumahtangga dan perusahaan bersifat implisit ketimbang eksplisit. Begitu pula, dalam banyak kajian makroekonomi, perilaku optimalisasi rumahtangga dan perusahaan bersifat implisit.

Reference:
Macroeconomics 5th edition, Worth Publisher, 2003, N. Gregory Mankiw.

Friday, October 19, 2007

aksiologi

Review Filsafat Ilmu:

AKSIOLOGI

1. Pengantar
Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi secara formal baru muncul pada sekitar abad ke-19. Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang berarti nilai atau berharga. Menurut Mautner (dalam Wiramihardja, 2006: 155), aksiologi mulai digunakan sebagaimana adanya saat ini oleh Lotze, Brentano, Husserl Scheeler dan Nicolai Hartmann.
Dalam filsafat Yunani kuno, tema aksiologi lebih banyak berhubungan dengan masalah-masalah yang konkret, seperti api, udara dan air. Masalah nilai ini meliputi dua hal penting yaitu ada (being) dan nilai (value).

2. Definisi Aksiologi
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik ataupun fisik material (Koento, 2003: 13).
Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral. Adapun Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.

3. Kegunaan Pengetahuan Filsafat
Menurut Tafsir (2006: 89) untuk mengetahui kegunaan filsafat, dapat dimulai dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu pertama, filsafat sebagai kumpulan teori filsafat. Kedua, filsafat sebagai metode pemecahan masalah dan ketiga, filsafat sebagai pandangan hidup.
Penjelasan dari kegunaaan pertama yaitu bahwa mengetahui teori-teori filsafat sangat perlu karena dunia dibentuk oleh teori-teori itu. Adapun filsafat sebagai metodologi bermakna cara memecahkan masalah yang dihadapi. Filsafat digunakan sebagai cara pemecahan masalah secara secara mendalam dan universal. Kegunaan filsafat sebagai pandangan hidup dimaknai sama dengan agama yaitu dalam hal mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya.
Perbedaannya adalah agama berasal dari Tuhan sedangkan filsafat berasal dari pemikiran manusia. Filsafat sebagai pandangan hidup terdapat dalam beberapa segi kehidupan seperti akidah, hukum dan bahasa.
3.1. Kegunaan Filsafat bagi Akidah
Akidah merupakan bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan, dengan pusat keyakinan kepada Tuhan. Tafsir (2006: 91-95) mengungkapkan bahwa Thomas Aquinas (1225-1274) berusaha menyusun argumen logis untuk membuktikan adanya Tuhan melalui bukunya Summa Theologia.
Argumen pertama adalah argumen gerak. Penggerak alam adalah Tuhan. Kedua, argumen kausalitas yaitu Tuhan sebagai penyebab pertama, yang tidak memerlukan penyebab yang lain. Ketiga, argumen kemungkinan yang dilatarbelakangi pemikiran bahwa adanya alam itu bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada. Alam ini mula-mula tidak ada, lalu menjadi ada sehingga memerlukan Yang Ada untuk menjadikan alam menjadi ada. Keempat, argumen tingkatan yaitu Tuhan adalah yang tertinggi sehingga Dia adalah penyebab di bawah-Nya. Argumen kelima adalah argumen teologis atau disebut argumen tujuan. Ada sesuatu yang mengatur alam menuju tujuan alam yaitu Tuhan.
Kant menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dipahami melalui akal dan hanya dapat dipahami melalui suara hati yang disebut moral. Menurut Kant akal teoritis atau akal rasional tidak melarang untuk mempercayai Tuhan, kesadaran moral atau suara hati memerintahkan mempercayai-Nya. Suara hati itu memerintah, bahkan rasio tidak mampu untuk melawannya. Filsafat dapat berguna untuk memperkuat keimanan.
3.2. Kegunaan Filsafat bagi Hukum
Hukum yang akan dibahas adalah hukum Islami atau fikih. Fikih secara bahasa berarti mengetahui, sedangkan oleh para ushul al fiqh didefinisikan sebagai hukum praktis hasil ijtihad (Tafsir, 2006: 96). Ketentuan hukum dalam fikih terdiri dari tiga hal. Pertama, perintah seperti sholat, zakat, puasa dan sebagainya. Kedua, larangan seperti larangan zina, musyrik dan sebagainya. Ketiga, petunjuk seperti cara sholat, puasa dan sebagainya.
Ketiga unsur tersebut apabila dilihat dari sudut sifatnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pertama, bersifat tetap yang berarti bahwa tidak terpengeruh oleh kondisi tertentu. Kedua, yang bersifat dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu.
Tujuan diturunkannya hukum Islami atau fikih adalah untuk menciptakan kemaslahatan hidup manusia. Mashudi (dalam Tafsir, 2006: 97-98) mengemukakan bahwa untuk menjamin kemaslahatan tersebut ditetapkan beberapa azaz Islami sebagai berikut:
  • tidak sulit dalam melakukannya
  • ringan serta mampu dilaksanakan
  • mudah sesuai kemampuan
  • menghilangkan bahaya
  • boleh melakukan sesuatu asal tidak membahayakan yang lain
Kaidah-kaidah pembuatan hukum ini ternyata didasarkan pada teori-teori filsafat. Selain dalam hukum fikih, filsafat juga berguna dalam memberikan kritik ideologi. Dalam memberikan kritik ideologi, yaitu dengan menggunakan fungsi kritis filsafat. Dalam hal ini filsafat dapat melakukan dua hal. Pertama, kritik terhadap ideologi saingan yang akan merusak Islam. Kedua, kritik terhadap hukum Islami, misalnya mempertanyakan apakah itu sesuai dengan esensi yang dikandung oleh teks yang dijadikan dasar hukum tersebut.
Filsafat, khususnya filsafat sebagai metodologi berguna bagi pengembangan hukum dalam hal ini hukum Islami.
3.3. Kegunaan Filsafat bagi Bahasa
Bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Ketika bahasa berfungsi sebagai alat berpikir ilmiah, muncul permasalahan dan dapat diselesaikan dengan bantuan filsafat. Peran logika (filsafat) dalam bahasa menurut Qasim (dalam Tafsir, 2006: 101) adalah memperbaiki bahasa. Logika dapat mengetahui kesalahan bahasa. Kekeliruan dalam bahasa menyebabkan kekeliruan dalam berpikir, seperti pertama, kekeliruan karena komposisi. Kedua, kekeliruan dalam pembagian yaitu kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan maka keliru pula dalam menetapkan sifat bagian. Ketiga, kekeliruan tekanan yaitu kekeliruan yang terjadi dalam pembicaraan ketika salah dalam memberikan tekanan dalam pengucapan. Keempat, kekeliruan karena amfiboli. Amfiboli terjadi karena apabila kalimat mempunyai arti ganda.
Filsafat sangat berperan dalam menentukan kualitas bahasa. Tanpa peran serta filsafat kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin dapat diperbaiki. Perkembangan berpikir (filsafat) akan diikuti oleh perkembangan bahasa.
4. Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain adalah sebagai metodologi, yang bermakna sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaiakan masalah bahkan sebagai metode memandang dunia.
Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Mendalam bermakna bahwa filsafat mencari asal masalah, sedangkan universal bermakna filsafat ingin agar masalah dilihat dalam hubungan yang seluas-luasnya sehingga nantinya penyelesaian dapat cepat dan berakibat seluas mungkin.

5. Pendekatan-pendekatan dalam Aksiologi
Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:
  • Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman.
  • Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
  • Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.
Nilai mempunyai bermacam makna seperti:
mengandung nilai, yang artinya berguna
merupakan nilai, yang artinya baik, benar atau indah
mempunyai nilai yang artinya merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai tertentu
memberi nilai, yang artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu
Makna yang dikandung nilai tersebut menimbulkan tiga masalah yang bersifat umum, seperti:
apakah yang dinamakan nilai itu?
apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai, dan bagaimanakah cara mengetahui nilai dapat diterapkan?
proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan-tanggapan penilaian dan bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang dikandungnya serta verifikasi yang dapat dilakukan terhadapnya?
5.1. Nilai merupakan Kualitas Empiris yang Tidak Dapat Didefinisikan
Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Sebagai contoh pengertian baik, artinya pengertian nilai. Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325) mengatakan bahwa baik merupakan pengertian yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu.
Pendefinisisan nilai juga didasarkan pada hal-hal lain, seperti rasa nikmat atau kepentingan. Moore menyebutnya sesat-pikir naturalistis. Nilai tidak dapat didefinisikan maksudnya nilai-nilai tidak dapat dipersamakan dengan pengertian-pengertian yang setara. Nilai dapat didefinisikan dengan cara-cara lain, seperti dengan menunjukkan contohnya sehingga dapat diketahui secara langsung.
Jika nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi tidak dapat sebaliknya. Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti nilai tidak bisa dipahami.
5.2. Nilai sebagai Obyek Suatu Kepentingan
Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang lain yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan dijumpai semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju atau menentang. Dalam hal ini tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu:
sikap setuju atau menentang tersebut sama sekali bersangkut paut dengan masalah nilai
sikap tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki
sikap tersebut merupakan sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai
Kemungkinan pertama sudah jelas. Kemungkinan kedua berarti bahwa, misalkan sikap tersebut ditimbulkan oleh suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian dari hakekatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila seseorang mengatakan x bernilai maka dalam arti yang sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut mempunyai kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau menentang oleh Perry (dalam Kattsoff, 2004: 329) disebut kepentingan.
Perry juga berpendapat bahwa setiap obyek yang ada dalam kenyataan maupun pikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika berhubungan dengan subyek-subyek yang mempunyai kepentingan.
5.3. Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.
Dengan kata lain, pemberian nilai berkaitan dengan bahan-bahan faktual yang tersedia dan berdasarkan bahan-bahan tersebut, perbuatan-perbuatan dan obyek-obyek dapat dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang terbayang. Dapat disimpulkan bahwa pemberian nilai adalah ketentuan-ketentuan penggunaan berkaitan dengan kegiatan manusia melalui generalisasi-generalisasi ilmiah sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.
5.4. Nilai sebagai Esensi
Apabila nilai sudah sejak semula terdapat di segenap kenyataan, dapat dikatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara apa yang ada (eksistensi) dengan apa yang seharusnya ada. Yang sungguh-sungguh ada yaitu apa yang ada kini dengan yang mungkin ada (apa yang akan ada).
Jika nilai bersifat intrinsik, maka nilai apa yang akan ada merupakan kelanjutan belaka dari apa yang seharusnya ada. Apabila nilai merupakan ciri intrnsik semua hal yang bereksistensi maka dunia ini merupakan dunia yang baik, kerena di dalamnya tidak mungkin terdapat keadaan tanpa nilai. Dengan demikian maka masalah adanya keburukan di dunia terhapus karena memperoleh pengingkaran.
Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenyataan, namun tidak bereksistensi. Berhubung dengan itu, nilai-nilai tersebut haruslah merupakan esensi-esensi yang terkandung dalam barang sesuatu serta perbuatan-perbuatan. Pandangan ini erat hubungannya dengan pandangan Plato dan Aristoteles (Kattsoff, 2004: 337) mengenai forma-forma. Sebagai esensi, nilai tidak bereksistensi, namun ada dalam kenyataan. Nilai-nilai mendasari sesuatu dan bersifat tetap.
6. Etika
Etika oleh Driyarkara (dalam Wiramihardja, 2006: 158) disebut juga sebagai filsafat kesusilaan atau moral. Namun, terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu pertama, moralitas bersangkutan dengan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seyogyanya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan. Adapun etika merupakan wacana yang memperbincangkan landasan-landasan moralitas. Kedua, bahwa etika berkaitan dengan landasan filsafati norma dan nilai dalam kehidupan kemasyarakatan, sedangkan moral berkaitan dengan nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan atau keburukan perilaku yang bersangkutan dengan agama. Kesusilaan sering dikaitkan juga dengan norma agama yang berhubungan dengan masalah pahala dan dosa. Kattsoff (2004, 341) mendefinisikan etika sebagai cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai betul dan salah dalam arti susila dan tidak susila.
Filsafat etis merupakan usaha untuk memberi landasan terhadap usaha menyelesaikan konflik-konflik secara rasional apabila respon otomatis dan aturan implisit tindakan berbelit dengan respon dan aturan yang bertentangan. Craig dalam bukunya The Shorter Routledge Encyclopedia of Phylosophy mengemukakan tiga masalah utama dalam etika, yaitu masalah etika dan meta etika, masalah konsep etis dan teori etis serta masalah etika terapan.
6.1. Masalah Etika dan Meta Etika
Etika mempunyai empat pengertian yaitu pertama, sistem-sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kehidupan kelompok khusus manusia yang digambarkan sebagai etika kelompok ini. Kedua, etika digunakan pada satu di antara sistem-sistem khusus tersebut yaitu moralitas yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan. Ketiga, etika dalam sistem moralitas mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual. Keempat, etika merupakan suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.
6.2. Konsep dan Teori Etika
Crisp (dalam Wiramihardja, 2006: 160) menyatakan terdapat beberapa etika yang bersifat luas dan umum serta berupaya untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum atau keterangan-keterangan dasar mengenai moralitas, cenderung lebih berfokus pada masalah etika.
Filsafat moral atau etika membicarakan advokasi cara-cara khusus hidup dan bertindak. Beberapa tradisi lama sekarang telah hilang, namun masih banyak perbedaan cara pandang mengenai bagaimana seharusnya cara orang hidup.
6.3. Masalah Etika Terapan
Etika filsafati selalu dikaitkan dengan taraf penerapan pada kehidupan nyata sehari-hari. Aristoteles meyakini bahwa dalam mempelajari etika tidak terdapat nilai, jika hal itu tidak akan memberikan keuntungan kepada orang dalam menjalani kehidupannya.
7. Estetika
Estetika menurut The Liang Gie (dalam Wiramihardja, 2006: 162) merupakan permasalahan, pertanyaan (issues) tentang keindahan, menyangkup ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.
Marcia Eaton menyatakan bahwa konsep-konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berkaitan dengan deskripsi dan evaluasi obyek serta kejadian artistik dan estetika. Immanuel Kant menyatakan bahwa konsep estetika bersifat subyektif, tetapi pada taraf dasar manusia secara universal mempunyai perasaan yang sama terhadap apa yang membuat nyaman, senang, menyakitkan ataupun tidak nyaman.
Kattsoff (2004: 366) mengungkapkan bahwa estetika merupakan suatu teori yang meliputi:
penyelidikan mengenai yang indah
penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
pengalaman yang berkaitan dengan seni seperti masalah penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan atas seni
7.1. Estetika Filsafati
Teori keindahan lebih tepat dianggap sebagai kajian ilmiah dalam membahas fenomena atau wujud kesenian daripada dasar-dasar wacana seni. Teori lima seni merupakan teori seni yang menyangkut permasalahan seni lukis, seni pahat, arsitektur, sajak dan musik yang dianggap pilar dari kesenian pada umumnya.
Baumgarten (dalam Wiramihardja, 2006, 163) mengatakan bahwa estetika merupakan pengetahuan tentang sensuous. Dalam bahasa Yunani, aiesthetika berarti hal-hal yang dapat diserap oleh panca indera, sedangkan aisthesis berarti persepsi inderawi. Bosanquet menyatakan bahwa toeri aestetika merupakan cabang filsafat dan lahir untuk keperluan pengetahuan, bukan sebagai bimbingan praktis untuk menilai dan membentuk sesuatu yang bernilai estetis.
7.2. Prinsip Estetika
Keindahan mengandung ekspresi imajinatif dan sensuous mengenai kesatuan dalam kemajemukan. Pemikiran Hellenik berpendapat bahwa seni pertama kali muncul sebagai reproduksi dari realitas yang merupakan alasan yang ditentang analisis estetik karena berpegang teguh pada signifikan konkret mengenai keindahan dalam diri manusia dan alam.
Teori keindahan mempunyai tiga prinsip yang membangun kerangka kerja Hellenistik mengenai alam dan nilai keindahan. Namun, hanya satu yang dianggap sebagai judul yang lebih tepat bagi teori estetika. Adapun dua prinsip lainnya lebih dekat pada masalah-masalah moral dan metafisik, meskipun akar keduanya adalah asumsi metafisika yang juga memadai untuk batasan analisis estetik. Prinsip ketiga dianggap sebagai kondisi ekspresi yang abstrak.
7.3. Konsep Estetika
Konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilah-istilah yang mengangkat kelengkapan estetik yang mengacu pada deskripsi dan evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan obyek, serta kejadian artistik dan estetik. Kant menyatakan bahwa konsep estetik secara esensial bersifat subyektif, berakar pada perasaan pribadi mengenai rasa senang dan sakit.
Mautner menyatakan bahwa aestetisme mempunyai pengertian aliran filsafat dan orang-orang yang menghadapi permasalahan, senantiasa mengutamakan nilai-nilai estetis. Goethe menyatakan bahwa dalam kehidupan umumnya yang harus diutamakan dan didahulukan adalah nilai estetis, seperti keseimbangan dalam bertingkah laku dan menilai situasi apa pun yang termasuk airan ini tidak harus para seniman. Budd mendefinisikan sifat aestetisme sebagai cara kita menganggap sesuatu dan jika kita hanya menangkap inti estetis di dalamnya. Tanner menekankan hubungan antara etika dan estetika, yaitu bahwa antara penilaian estetika dan etika telah melahirkan subyek materi estetika (Wiramihardja, 2006: 166-168).
8. Ilmu dan Moral
Peradaban manusia bergerak seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kedua hal tersebut, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih mudah dan cepat. Namun, terdapat sisi buruk dari imu yaitu sejak dalam tahap pertama pertumbuhannnya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka.
Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi. Ilmu tidak saja bertujuan untuk menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman tetapi bertujuan untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.
Dihadapkan pada masalah moral maka ilmuwan dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan pertama dan golongan kedua. Golongan pertama yaitu golongan yang menginginkan agar ilmu harus netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Adapun golongan kedua merupakan golongan yang berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu seperti pada saat era Galileo, sedangkan golongan kedua berusaha menyesuaikan kenetralan ilmu berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal:
ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan
ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi penyalahgunaan
ilmu telah berkembang sedemikian rupa, dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti kasus revolusi genetika

Referensi:
  • Kattsoff, L.O. (2004), Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
  • Siswomihardjo, Koento Wibisono (2003), “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, hal. 1-16, Liberty, Yogyakarta.
  • Suriasumantri, Jujun S. (2005), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
  • Tafsir, Ahmad (2006), Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
  • Wiramihardja, S.A. (2006), Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu, Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, PT Refika Aditama, Bandung.

ontologi

Review Filsafat Ilmu:

ONTOLOGI

Pengantar
Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Menurut Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, dengan demikian, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna.
Hornby menyatakan pula bahwa pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.

Ilmu Pengatahuan
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dari hasil pengamatan/penelitian ini akan dihasilkan teori dan dapat pula pengamatan/penelitian ini pula ditujukan untuk menguji teori yang ada. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.
Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. Dengan demikian, agama sebagai misal, karena sifat normatifnya yang mutlak dan mengandung kebenaran yang tidak bisa dipertentangkan, bukan bagian dari ilmu pengetahuan.
Bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir manusia yang tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian.
Berfikir merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau pengalaman dengan maksud tertentu. Makin luas dan dalam suatu pengalaman atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh proses berfikir yang dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan untuk mengabstraksi obyek menjadi sejumlah informasi dan mengolah informasi untuk maksud tertentu.
Berfikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan umpan balik kepada berfikir. Hubungan interaksi antara berfikir dan pengetahuan berlangsung secara sinambung dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan akan berlangsung secara kumulatif. Bagian terpenting dari berfikir adalah kecerdasan mengupas (critical intelegence). *Ontologi ilmu, suatu analisis filsafat tentang kenyataan dan keberadaan yang berkaitan dengan hakikat “ada”.
*Episomologi ilmu, suatu teori tentang pengetahuan yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan dan metode keilmuan.
*Aksiologi ilmu, suatu teori tentang nilai atau makna.
Untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dari proses berfikir yang benar, dalam arti sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti harus menggunakan penalaran yang benar dalam berfikir. Hasil penalaran itu akan menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan.
Secara definisi, nalar merupakan kemampuan atau daya untuk memahami suatu informasi dan menarik kesimpulan. Dengan nalar tersebut, sesorang akan dapat menyajikan gagasan atau pendapat secara tertib, runtut, teratur dan mengikuti struktur yang sifatnya logis (mantik). Dengan nalar, ilmu dapat berfungsi menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan keadaan atau kejadian.
Pada dasarnya terdapat dua betuk penalaran; deduksi dan induksi. Deduksi berpangkal pada suatu pendapat umum, berupa teori, hukum atau kaedah dalam menyusun suatu penjelasan tentang suatu kejadian khusus atau dalam menarik suatu kesimpulan. Deduksi bertujuan untuk mencari kesahihan (validitas) suatu informasi, bukan pada kebenarannya. Maka kesahihan struktur argumentasi adalah pokok dalam penalaran deduktif, terlepas dari benar atau tidaknya pangkal pendapat yang dirujuk. Karena rujukannya tersebut sudah pasti, maka deduksi akan menghasilkan ungkapan atau kesimpulan yang berkepastian secara logis. Kelemahan metode penalaran ini adalah kurang mampu membawa hasil penalaran ke pembentukan pendapat atau ide baru.
Induksi berpangkal pada sejumlah fakta empirik untuk menyusun suatu penjelasan umum, teori, atau kaidah yang berlaku secara umum di masyarakat. Karena tidak mungkin untuk mengamati keseluruhan fakta yang ada, terutama pada fakta yang muncul dikemudikan hari, kesimpulan induktif hanya akan dapat mencapai kebenaran yang sifatnya probabilistik. Kesahihan pendapat induktif ditentukan secara mutlak oleh kebenaran fakta yang dijadikan pangkal penalaran. Namun demikian, induksi memiliki peluang untuk menciptakan teori baru.
Jika induksi dan deduksi dapat digabungkan menjadi satu kesatuan struktur penalaran, maka penalaran akan menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, kekurangpastian dari logika induksi akan dapat dikompensasi oleh kelebih pastian logika deduksi. Demikain pula, kekurangmampuan metode deduksi dalam melahirkan teori baru akan terkompensasi oleh kemampuan yang lebih pada metode induksi untuk melahirkan teori baru (Tejoyuwono, 1991).

Pengertian Ontologi
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu. Neches (1991) memberikan definisi tentang ontologi yaitu: “Sebuah ontologi merupakan definisi dari pengertian dasar dan relasi vocabulary dari sebuah area sebagaimana aturan dari kombinasi istilah dan relasi untuk mendefinisikan vocabulary”.
Gruber (1991) memberikan definisi yang sering digunakan oleh beberapa orang, definisi tersebut adalah “Ontologi merupakan sebuah spesifikasi eksplisit dari konseptualisme”. Berdasarkan definisi Gruber tersebut banyak orang yang mengemukakan definisi tentang ontologi diantaranya Guarino dan Giaretta (1995) mengumpulkan definisi yang berkoresponden dengan syntactic dan semantic interprestasi. Sedangkan Borst (1997) melakukan penambahan dari definisi Gruber dengan mengatakan “Sebuah ontologi adalah spesifikasi formal dari sebuah konseptual yang diterima (share)”.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.

Metafisika
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait.
Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini (Jujun, 2005).
a. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
b. Naturalisme.
Paham ini menolak wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindra.
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika. Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.
Kaum vitalistik mempertanyakan apakah manusia merupakan bagian dari proses kimia fisika tersebut. Pertanyaan berlanjut pada bagaimana pandangan mengenai pikiran (kesadaran)? Bagi kaum vitalistik, hidup merupakan sesuatu yang unik yang berbeda dengan proses kimia fisika tersebut. Proses berfikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun, apakah apakah kebenarannya dari hakikat pikiran tersebut? Apakah dia berbeda dengan benda yang ditelaahnya, ataukah bentuk lain dari zat tersebut?
Kelompok naturalis yang lain, yaitu aliran monoistik dengan tokohnya Christian Wolf (1679-1754), menyatakan bahwa tidak berbeda antara pikiran dengan zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan proses berlainan, namun memiliki substansi yang sama. Sebagaimana energi dan zat, teori Einstein: menyatakan energi hanya bentuk lain dari zat. Jadi proses berfikir dianggap sebagai aktivitas elektro kimia dari otak.
Kelompok lainnya, yaitu aliran dualistik memberikan pendapat yang berbeda tentang makna kesadaran. Zat dan kesadaran (fikiran) adalah berbeda secara substantif, sui generalis. Tokoh penganut paham ini antara lain Rene Descartes, John Locke dan George Berkeley. Mereka menyatakan bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran manusia, termasuk penginderaan dari hasil pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Yang bersikap nyata hanyalah pikiran, karena dengan berpikir maka sesuatu itu akan menjadi ada. Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada.
John Locke mengibaratkan pikiran manusia pada awalnya merupakan sebuah lempeng yang licin dan rata dimana pengalaman inderawi akan melekat dalam lempeng tersebut. Organ manusia lah yang menangkap dan menyimpan pengalaman inderawi.
Berkeley terkenal dengan ungkapannya to be is to be perceived. Ada adalah disebabkan oleh persepsi. Sesuatu akan muncul karena manusia berpikir dan memunculkan suatu anggapan. Proses kreasi muncul karena persepsi ini dan menghasilkan sesuatu yang berujud.
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu adalah sifat pragmatis dari ilmu.

Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.
Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya.
Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen .
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):
1. Deterministik.
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal. Tokoh: William hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat uiversal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik lebih banyak dikenal dan asumsinya banyak digunakan dibanding ilmu sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam. Satu jam adalah sama dengan 60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapa pun jumlah percobaan dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan carbon dioksida.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu;
Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang.
Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.
Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini?
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis
Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif.
Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:
Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep–kosep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada.
Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada persepsi individu.
Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial, terdapat dua asumsi berbeda dalam membicarakan tentang sifat masyarakat sosial. Asumsi ini sangat penting dalam menentukan pendekatan terhadap masalah–masalah yang berhubungan dengan konflik, perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi yang berbeda ini tercermin dalam dua teori:
Order
Asumsi ini lebih diterima secara umum oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat:
  • Relatif stabil.
  • Terintegrasi dengan baik.
  • Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi masing–masing dan saling berkoordinasi.
  • Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus, bukan pemaksaan (coercion )
  • Konflik
  • Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat :
  • Mengalami perubahan di banyak aspek
  • Mengalami konflik di banyak aspek.
Setiap elemen dari masyarakat memiliki kontribusi ke arah disintegrasi
Perbedaan order versus konflik ini cenderung ditinggalkan dan digantikan oleh regulation (regulasi) versus radical change (perubahan radikal). Pandangan yang bersifat regulasi lebih terkait pada bagaimana masyarakat cenderung menjadi sebuah kesatuan dan adanya kebutuhan akan regulasi. Pandangan perubahan radikal berfokus kepada bagaimana terciptanya perubahan radikal, konflk, dominasi dan kontradiksi.
Penelaahan suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji permasalahan dalam masyarakat, terlebih entitas lokal, perlu menggunakan pilihan asumsi yang tepat. Bidang kajian ilmu ekonomi pembangunan perlu melihat kondisi aspek kemasyarakatan secara detil. Kesalahan penggunaan asumsi akan memberikan dampak negatif bagi obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek pengetahuan tersebut. Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari penelitian mengenai proses pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan tidak tepat.

Penjelajahan Ilmu Pengetahuan
Apakah yang menjadi batas lingkup penjelajahan ilmu? Pertanyaan ontologis dari filsafat ilmu pengetahuan menjadi perlu disampaikan. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Mengapa dengan batas demikian? Apakah hanya sebatas pengalaman manusia saja?
Ilmu hanya membatasi diri dari batas pengalaman dan kemampuan pengetahuan manusia saja. Dalam hal ini, terdapat beberapa alasan yang melatar belakangi jawaban ini (jujun 1993);
Ilmu memiliki fungsi sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari.
Karena metode yang digunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empirik. Jika ilmu melingkupi sesuatu yang berada di luar batas pengalaman manusia, maka pembuktian secara metodologis tidak akan bisa diperoleh. Jika hal tersebut dipaksakan, maka metode ilmiah menjadi tidak sahih.
Dengan demikian batas jelajah ilmu menjadi sempit. Ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling pada sumber-sumber moral. Tentang indah dan jelek, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetika.
Pada saat ini diperkirakan cabang keilmuan telah mencapai sekitar 650 cabang ilmu. Jika pada fase awal, hanya terdapat ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy), maka dewasa ini telah menjadi cabang-cabang keilmuan yang sangat banyak dan terus tumbuh sesuai dengan kebutuhan manusia. Ilmu-ilmu alam membagi menjadi kelompok ilmu alam fisik (the physical science) dan ilmu hayat (the biological science).
Bidang ilmu sosial demikian pula menjadi berkembang meskipun perkembangannya lebih lambat dibanding ilmu alam. Pada intinya terdapat cabang ilmu sosial yang berkembang saat ini adalah; ilmu antropologi yang membahas manusia dalam perspektif waktu dan tempat, psikologi yang membahas proses mental dan kelakuan manusia, ekonomi yang mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhannya melalui proses pertukaran, sosiologi yang mempelajari struktur organisasi sosial manusia dan ilmu politik yang membahas sistem dan proses kehidupan manusia dalam pemerintahan dan bernegara.
Setiap ilmuwan harus mengetahui dengan benar batas-batas penjelajahan cabang-cabang ilmunya. Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan, maka diperlukan “pandangan” dari cabang ilmu disiplin lain. Pendekatan multi-disipliner ini membutuhkan pengetahuan tentang cabang keilmuan yang bertetangga, atau yang berdekatan.
Sebagai contoh perlunya multi disipliner ini adalah dengan munculnya ilmu tentang pengembangan ilmu mekanika komputer. Dalam ilmu ini dikembangkan aplikasi Artificial Intellegence (AI) sebagai upaya cabang ilmu komputer untuk mendekatkan dan membantu cabang ilmu lainnya.
Pada era modern ini dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia, upaya penyelesaian masalah memerlukan bukan hanya dengan satu cabang bidang ilmu saja. Diperlukan upaya multi-disiplin ilmu untuk memecahkan realitas yang muncul. Pada gambar 3 terlihat pula dalam struktur AI, ilmu manajemen memerlukan tambahan pendekatan matematika dan statistika, sebagaimana pula seorang psikolog tidak hanya memerlukan ilmu psikologi semata melainkan pula memerlukan bantuan ilmu lain semisal sosiolinguistik.

Referensi:

  • Balza, A., Kecerdasan Buatan, Yogyakarta, 2006
  • Finin T. R. Gruber T. Senator R. Neches, R. E. Fikes and W. R. Swartout. Enabling Technology for Knowledge Sharing. 1991
  • Jujun S. M., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005
  • McMullin, E., “Ernan McMullin, The Social Dimensi of Science”, dalam Balashov Y. And Rosenberg, A. (Editor), Philosophy of Science Contemporary Readings, Routledge, London, 2002 Tejoyuwono N., Metodologi Penelitian dan Beberapa Implikasinya dalam Penelitian Geografi, Makalah dalam Seminar Aplikasi Penelitian Geografi untuk Perencanaan pengembangan Wilayah Fakultas Geografi UGM, 29-31 Agustus 1991.
  • Willem Nico Borst. Construction of Engineering Ontologies for Knowledge Sharing and Reuse. PhD thesis, University of Twente, Netherland, 1997.