Saturday, October 20, 2007

Metafisik, Moral dan Sains

Review: Filsafat Ilmu Ekonomi


Metafisik, Moral dan Sains

Pendahuluan
Satu alasan mengapa kehidupan modern tidak nyaman adalah bahwa kita telah menumbuhkan self-conscious tentang hal-hal yang sebelumnya kita terima begitu saja. Sebelumnya orang percaya pada apa yang mereka percaya karena mereka pikir itu adalah benar atau karena itu adalah apa yang orang bijak katakan benar. Namun sejak Freud menunjukkan kepada kita tentang rasionalisasi dan Marx menunjukkan bagaimana ide-ide muncul dari ideologi, kita mulai bertanya mengapa kita percaya pada apa yang kita percaya?
Ketika mencoba menjawab pertanyaan ini, kita terjebak pada apa yang disebut sebagai sebuah impenetrable fog dimana semua tergantung pada apa yang kita artikan. Jika demikian halnya, maka hidup menjadi tidak mungkin sehingga kita harus mencari jalan keluarnya. Kita harus mencari akar dari keyakinan kita. Di tengah-tengah upaya mencari jawaban atas mengapa terbentuk sebuah ideologi, kita akan temukan bahwa kehidupan ekonomi atau ilmu ekonomi itu sendiri akan selalu menjadi bagian dari ruling ideology dari masa ke masa, sekaligus merupakan sebuah metode penyelidikan ilmiah.


Ideologi vs. Sains
Bagaimana membedakan ideologi dengan sains? Pertama kita harus tahu apa yang dimaksud sebagai definisi. Penting kiranya untuk membedakan mana yang merupakan logical definitions dan mana yang merupakan kategori alami sejarah. Contoh, sebuah titik adalah sesuatu yang didefinisikan sebagai memiliki posisi namun tidak memiliki magnitude. Tentu saja tidak seorang pun telah melihat sebuah titik. Titik adalah logical abstraction. Bagaimana dengan seekor gajah?
Gajah itu seperti sebuah ideologi. Dia exists dan dapat dideskripsikan dan kita dapat berdebat tentangnya. Namun untuk menyelesaikan sebuah perdebatan, tidak menarik kiranya jika kita menggunakan logical definition. Yang diperlukan bukanlah definisi tapi kriteria.
Apa kriteria dari proposisi ideologi dan –bukan proposisi ilmiah-? Pertama, jika proposisi ideologi diperlakukan dengan cara logis, maka akan menjadi meaningless noise atau akan menghasilkan circular argument. Contoh: pernyataan semua orang sama. Kata “sama” mengandung arti kuantitas. Pertanyaannya, apakah ini merujuk pada tinggi badan, berat badan atau apa? Kata “sama” tanpa adanya penjelasan dalam hal apa akan sepenuhnya menjadi sebuah noise.
Kedua, ciri khas dari proposisi metafisik adalah bahwa ia tidak dapat diuji. Dia mengatakan sesuatu tentang kehidupan nyata tapi kita tidak dapat belajar darinya. Kita juga tidak dapat mengatakan dunia akan berubah menjadi seperti apa tanpanya. Yang bisa kita katakan adalah dunia akan sama seperti saat ini, namun tanpa noises tentang al ini. Proposisi metafisik tidak dapat dibuktikan salah.
Ketiga, meskipun demikian, pernyataan metafisik bukan tanpa isi. Pernyataan ini mengekspresikan sebuah pandangan dan memformulasikan perasaan yang menjadi pegangan dalam bertindak. Slogan “semua orang sama’ merupakan bentuk protes atas pengistimewaan sejak lahir. Proposisi ini menyediakan pijakan untuk menarik hipotesis. Misalnya, dalam slogan “semua orang sama”, mungkin bisa duji apakah kelas sosial atau warna kulit berkorelasi dengan distribusi innate ability.


Egoism vs. Altruistic
Apakah sebuah ideologi dapat atau tidak dihilangkan dalam pemikiran di ilmu sosial, ideologi merupakan keniscayaan dalam dunia nyata kehidupan sosial. Sebuah masyarakat tidak dapat exist tanpa anggota-anggotanya memiliki perasaan yang sama tentang apa yang patut dilakukan dalam berhubungan satu sama lain, dan perasaan umum ini diekspresikan dalam ideologi.
Dari sudut pandang evolusi, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa ideologi adalah substitusi dari instinct. Binatang mengetahuinya begitu saja, sementara kita harus diajari. Karena standar perilaku yang proper tidak diturunkan dari gen, maka bentuk dari ideologi ini bisa macam-macam, tapi suatu standard moralitas penting bagi social animal seperti manusia.
Kebutuhan biologis akan moralitas muncul karena untuk sebuah spesies mampu bertahan hidup, dia dalam satu sisi harus egois – dia perlu mendapatkan makanan baginya, dan bagi keluarganya. Sebaliknya kehidupan sosial menjadi tidak mungkin tanpa adanya mitigasi atas self-interest motivation dengan penghormatan dan kasih sayang kepada orang lain. Sebuah masyarakat yang tidak memiliki mitigasi akan naluri egoisnya akan hancur; sebaliknya seorang individu yang sepenuhnya altruistik menjadi kelaparan. Jadi, harus ada mekanisme yang membuat individu menjaga aturan (rules) ketika aturan ini berbenturan dengan keuntungan pribadinya.
Adam Smith menurunkan moralitas dari perasaan simpati, dengan mengatakan bahwa meskipun seseorang itu egois, dia bahagia melihat orang lain bahagia meski dia tidak mendapatkan apa-apa. Rasa belas kasihan, dan juga perasaan sedih ketika melihat orang lain sedih itu ada. Sentimen-sentimen ini muncul tanpa ada maksud supaya sesorang tampak baik dan manusiawi, meski bisa saja begitu.
Hal ini benar selama dua hal di atas tidak dalam konflik. Jika ada konflik, maka saya akan menyelamatkan diri saya atas beban kamu –simpati tidak cukup untuk menghentikan saya. Karena impuls egois lebih kuat daripada altruistik, maka perlakuan orang lain akan berimbas pada kita. Mekanisme tentang bagaimana sesorang dikenakan adalah moral sense atau kesadaran individu. Sebagai contoh, mencuri bukanlah hal yang sangat jahat. Namun ketika kita bicara orang kaya merampok orang miskin maka kita menjadi sangat tidak suka. Jika sebaliknya, kita sedikit bahagia. Contohnya ketika Robin Hood mencuri, dia memang salah; namun kita tidak sepenuh hati juga dengan polisi. Meskipun demikian kurangnya kejujuran sangat merupakan masalah sangat besar bagi masyarakat. Ini adalah sumber dari beban dan secara luas melemahkan.
Jika tidak ada penghargaan atas hak milik pribadi, maka akan mustahil bicara tentang standar hidup. Misalnya, ketika akan panen, maka harus ada orang yang menjaga lahan agar tidak dicuri. Untuk menciptakan takut akan hukuman dengan kekuatan semacam ini mahal, tidak efektif dan rentan terhadap counter-attack. Kejujuran jauh lebih murah. Tapi perhatikan bahwa kejujuran orang lain penting untuk kenyamanan saya. Jika semua orang jujur kecuali saya, maka saya dalam posisi yang sangat menguntungkan.
Johnson mengatakan bahwa kebahagiaan sebuah masyarakat adalah suatu yang dicita-citakan. Di Sparta mencuri diperbolehkan by general consent sehingga mencuri bukanlah kejahatan. Namun akibatnya tidak ada keamanan; hidup macam apa tanpa adanya keamanan. Tanpa kebenaran, pastilah ada kehancuran masyarakat.
Jadi, meski mencuri tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, rasa penghargaan terhadap hak milik orang lain harus diajarkan. Ini adalah technical necessity, untuk membuat kehidupan sosial mungkin. Jadi isunya bukan apakah pencuri merasa salah dan yang lain memiliki rasa yang lebih benar. Poin-nya bukan pada perasaan subjective masyarakat. Poin-nya adalah pada situasi teknis yang sama – kehidupan sosial dan hak milik individual – membawa pada hasil yang sama: kode moral yang di-backed up dengan sanksi-sanksi.
Manusia memiliki kesadaran akan hal ini, Jadi bukan ada instinct yang membuat pola-pola tertentu, namun kesadaran manusia (pria dan wanita) yang memungkinkan pola masyarakat tumbuh secara berbeda. Isi dari kesadaran tergantung pada masyarakat dimana individu-individu tumbuh. Kesadaran menyatu pada anak melalui proses belajar yang disetujui atau tidak disetujui oleh keluarganya dan ini kemudian bekerja di dalam dan menjadi sebuah keinginan untuk disetujui oleh semua orang. Rasa malu yang dirasakan sendiri secara diam-diam tentu saja kurang menyakitkan dibandingkan jika diketahui oleh orang lain.
Rasa malu adalah alami dan universal, namun apa yang membuat kita malu tergantung pada persetujuan umum. Seperti halnya aturan menyupir di jalan. Ada aturan, dimana kadang harus di sebelah kiri dan kadang di sebelah kanan.
Pada banyak masyarakat hingga saat ini, moralitas ditegakkan melalui agama. Agama berguna dalam rangka memperkuat keinginan individu tentang apa saja yang dia percaya benar sekaligus mengenakan sebuah nilai tentang apa yang dianggap benar. Caranya adalah dengan memberikan rambu-rambu sekaligus pengurangan rasa egosi, dimana yang jahat akan dihukum. Jadi, meskipun tak diketahui publik, rasa malu ini diketahui selain oleh diri sendiri dan juga oleh mata Tuhan yang tak nampak namun ada dimana-mana. Agama juga memberikan kekuatan dan tujuan akan kebaikan terhadap sesama.
Orang-orang yang diajarkan tentang moralitas melalui medium agama percaya bahwa tidak ada motif lain dari melakukan apa yang benar selain dari menghindarkan diri dari hukuman Tuhan: jika tidak ada Tuhan maka tidak ada yang dilarang. Namun ini pernyataan konyol. (Silakan Anda menyupir kendaraan di sebelah kanan di Indonesia.)
Salah satu argumen yang disukai saat ini dari pendukung agama, adalah bahwa agama adalah necessary bagi perilaku yang baik dan keharmonisan sosial. Matinya agama disalahkan sebagai penyebab dari perceraian keluarga, kejahatan dll. Mereka tidak menyadari bahwa moralitas diinginkan dan dihargai karena moralitas itu sendiri. Agama direkomendasikan karena mendukung moralitas, bukan moralitas yang diturunkan dari agama.
Mereka yang tidak percaya pada agama sebaliknya berupaya menurunkan moral feelings dengan alasan. Argumen yang sering muncul adalah seseorang harus melakukan sesuatu yang benar karena jika tidak orang lain juga tidak. Argumen ini menunjukkan kebingungan. Karena akhirnya adalah “semua tergantung pada Anda”. Contoh dari hal ini adalah pemilu. Seringkali bahwa sebuah vote itu decisive sehingga cukup beralasan buat saya untuk datang dan memilih. Namun jika saya adalah seorang konstituen di antara banyak orang, mengapa saya haru memilih? Suara saya tidak akan mempengaruhi apa pun. Dan kemudian orang akan berkata, wah jika semua orang begitu, maka demokrasi akan collapse. Betul, namun saya bukan semua orang, saya hanyalah saya. Orang lain akan membawa kepentingan saya tanpa saya. Poin-nya adalah semua orang semestinya merasa bahwa ini adalah tugas kita untuk memilih, namun seseorang tidak dapat dibujuk dengan alasan. Dia harus berpikir bahwa suatu hal benar untuk dilakukan karena itu benar untuk dilakukan.
Sistem yang lebih sophisticated mencoba mencari moralitas dari kecenderungan tentang arah evolusi. Tapi ini tidak meyakinkan. Kalau saya mengatakan “biarlah evolusi terjadi, namun saya akan melakukan apa yang saya sukai”, bagaimana Anda akan menjawan saya kecuali dengan menunjukkan sense of duty? Sense of duty bisa diturunkan dari sebuah sistem, namun jika sense of duty ini diajarkan sehingga orang memiliki pengetahuan tentangnya, maka tidak perlu ada sebuah teori.
Inti dari semua argumen di atas adalah moralitas tidak diturunkan melalui teologi atau dari sebuah alasan. Jika ini diterima, maka pertanyaan selanjutnya adalah tentang apa isi dari moral feelings ini. Semua sistem etika filosofis adalah upaya untuk memberikan alasan bagi moral feelings; ini bukanlah fakta bahwa kita memiliki perasaan tersebut; namun pada apa, sebuah perilaku didasarkan.
Sebuah sistem ekonomi membutuhkan sejumlah aturan, sebuah ideologi yang menjustifikasinya dan sebuah kesadaran dalam individu yang membuatnya bertahan. Poin-nya adalah kita membuat moral judgment dalam moral system. Organisasi mafia misalnya, kita sukai karena kedisiplinan mereka atau salah seorang mafia kita sukai karena dia dermawan. Namun kita tidak approve mafia menjadi sebuah economic system.
Orang yang berpikiran dangkal percaya bahwa dia tahu perbedaan antara benar dan salah dan kesadarannya adalah satu-satunya pijakan (misalnya, agama). Orang yang lebih sophisticated memahami banyaknya sistem etika, dan mengambil pandangan relatif terhadap pertanyaan-pertanyaan moral. Namun semuanya sama, dalam relativism kita percaya pada certain absolutes. Ada certain basic ethical feelings yang kita semua rasakan. Misalnya, kita semua menyukai kindness to cruelty.
Gunnar Myrdal terlalu jauh mengatakan bahwa “konsep kita sangat value-loaded” dan “tidak dapat didefinisikan kecuali in terms of political valuation”. Contoh: bigger = better; equal = equitable; goods = good; disekuilibrium = ketidaknyamanan dll. Betul bahwa dengan mengambil sistem ekonomi apa adanya, kita dapat mendeskripsikan hal-hal teknis secara objektif. Namun bukan tidak mungkin untuk mendeskripsikan sebuat sistem tanpa adanya moral judgment.
Intinya adalah perbedaan imply pilihan; pilihan imply judgment. Kita tidak bisa menghindar dari membuat judgment karena judgment sudah ada di kepala kita dan meresap dalam hidup. Konflik antara ekonomi dan piety (kebaikan) tidak hanya disebutkan dalam Gospel, namun juga oleh Dr. Johnson. Namun Keynes menunjukkan bahwa kemewahan yang orang kaya berikan dalam bentuk pekerjaan kepada si miskin adalah nyata. Namun ada yang berpendapat bahwa Anda tidak dapat membelanjakan uang untuk barang mewah tanpa melakukan hal baik bagi si miskin. Tidak demikian. Sebenarnya si kaya melakukan hal lebih baik dengan membeli barang mewah daripada memberikannya. Karena, dengan membeli barang mewah dia membuat orang miskin bekerja di industri; sedangkan jika si kaya memberikannya, maka dia membuat si miskin tetap menganggur. Namun, memang ada kebaikan dengan memberikannya secara langsung dalam bentuk donasi daripada membelanjakan uang untuk barang mewah meski ketika melakukannya pasti ada rasa kebanggaan juga. Jadi, ini pilihan, apakah si miskin industrious poor atau idle poor? Pay money or give money?
Catat bahwa orang bisa virtuous and sociable without self-denial. Namun sebaliknya, private vices (mementingkan diri sendiri misalnya) adalah public benefits, karena tanpanya tidak ada masyarakat yang dapat makmur atau berkembang.
Schumpeter juga menunjukkan adanya perbedaan antara tentara/politisi/diplomat dengan kaum burjois/pedagang/industrialis. Yang pertama sering mengatakan bahwa yang kedua rationalist dan tidak heroik. Precisely, tujuan mencari laba adalah yang merusak prestis dari kaum pebisnis. Karena ketika kekayaan mampu membeli segala bentuk penghormatan, dia tidak akan pernah mendapatkan penghormatan ini secara cuma-cuma.


Ilmu Ekonomi vs. Teologi
Ilmu ekonomi bukan hanya cabang dari teologi. Ekonomi berusaha keluar dari sentimen-sentimen dan berusaha memperolaeh status sebagai sebuah sains. Kita melihat tadi bagaimana proposisi metafisik bukan hanya mengekspresikan moral feelings, namun juga menyediakan hipotesis.
Metode ilmiah sama halnya seperti seekor gajah – ia exists, dapat dideskripsikan, namun tidak dapat didefinisikan. Pandangan umum mengenai asal generalisasi ilmiah mengatakan bahwa generalisasi ilmiah dilahirkan dari proses induksi melalui pengamatan kejadian-kejadian. Ketika seorang bertanya, mengapa kamu percaya bahwa matahari akan terbit esok? Jawabannya tentu saja bukan atas dasar induksi perilaku lalu. Dalam hal ini kita percaya ada teori tentang pergerakan planet yang mana prosesnya tidak diharapkan untuk berhenti keesokan harinya. Proses sains, menurut Professor Popper, adalah proses yang mencoba untuk disprove theories. Tubuh sains terdiri dari teori-teori yang belum di-disproved (gagal untuk dibuktikan).
Kesulitan besar pada ilmu sosial dalam menerapkan metode ilmiah adalah tidak adanya standar penolakan dari sebuah hipotesis yang disepakati. Tanpa adanya controlled experiment, kita hanya bersandar pada interpretasi terhadap bukti, dan interpretasi melibatkan judgment; sehingga kita tidak akan pernah mendapatkan a knock-down answer. Namun karena ekonomi selalu melibatkan moral feelings, maka judgment diwarnai dengan prejudice.
Jalan keluar dari masalah ini bukan dengan menutup prejudice dan mendekati permasalahan dengan purely objective mind. Objektivitas dari sains muncul bukan karena individual is impartial (individu tidak memiliki peran), namun karena banyak orang secara kontinu menguji teori satu sama lain. Jadi, untuk menghindarkan diri dari cross-purposes, ekonom akan mengeskpresikan teorinya dalam bentuk apakah teori ini dapat diuji, yaitu ditolak (atau dibenarkan), melalui pengalaman.
Professor Popper keliru ketika mengatakan bahwa ilmu pasti tidak lebih baik daripada ilmu sosial. Pertama, ilmu sosial selain memuat banyak muatan politis dan ideologis, juga menyebabkan beberapa orang sangat loyal kepadanya. Kedua, karena appeal kepada public experience tidak dapat decisive, seperti layaknya hasil laboratorium dimana seseorang dapat mengulang pengujian yang dilakukan orang lain berkali-kali dalam sebuah eksperimen yang terkontrol, ahli ilmu sosial selalu ditinggalkan dengan sebuah loophole untuk escape melalui “konsekuensi yang dihasilkan dari penyebab yang saya analisis memang berlawanan dari apa yang saya prediksi, namun ini mungkin sekali terjadi jika penyebab tersebut tidak ada”.
Kebutuhan untuk menyandarkan diri pada judgment memiliki konsekuensi yang lain. Kadang ekonom sering dikatakan queasy (sick) dan ill-natured dibandingkan dengan ilmuwan lain. Alasannya, ketika personal judgment penulis terlibat di dalam argumen, ketidaksetujuan merupakan penghinaan. Adam Smith menggambarkan perbedaan antara pembuat puisi dan matematikawan. Pembuat puisi senang ketika dipuji oleh rekan-rekannya dan sering tersinggung ketika karyanya tidak diterima atau dikritik. Matematikawan sebaliknya. Mereka punya the most perfect assurance baik pada kebenaran maupun pada pentingnya penemuan mereka. Namun seringkali merasa indifferent tentang penerimaan orang lain. Kebahagiaan mereka terletak ketika pekerjaannya disetujui, tanpa terlalu merasa marah ketika pekerjaan ini diabaikan.
Ekonom tidak seburuk pembuat puisi. Kurang adanya sebuah metode yang disetujui dan diterima untuk mengurangi errors introduces elemen personal untuk masuk dalam kontroversi ekonomi yang merupakan masalah di atas semua itu. Masalah personal adalah produk langsung dari kesulitan utama, yaitu ketika metode eksperimental kurang tersedia, dan ekonom tidak dipaksa secara tegas untuk mengurangi konsep metafisik untuk istilah-istilah yang dapat disalahartikan. Jadi ekonom pincang dengan satu kaki berdiri di atas untested hypothesis dan kaki lain berpijak pada untestable slogans. Di sinilah tugas kita untuk menyeleksi sebagik yang dapat dita lakukan dalam campuran antara ideologi dan sains. Kita pasti tidak akan mendapatkan jawaban yang rapi atas pertanyaan-pertanyaan yang ekonom munculkan. Karakteristik utama dari sebuah ideologi yang mendominasi masyarakat kita saat ini adalah puncak dari kebingungan ini. Untuk memahaminya berarti hanya perlu dengan mengungkap kontradiksinya.

Reference: Economic Philosophy by Joan Robinson